S e l a m a t   D a t a n g di Blog Pusat Sumber Belajar SMA Negeri 1 Kota Cirebon Info : Ferifikasi Data Siswa Baru/PPDB SMA RSBI Negeri 1 Kota Cirebon dari tanggal 5 - 15 Mei 2012 silahkan Klik ke www.smansa.ppdbrsbi-cirebon.org

Kamis, 21 Oktober 2010

Marka Molekuler


1.1. Latar belakang.
Penanda genetic

Penanda genetik merupakan alat bantu mengidentifikasi genotipe suatu individu. Dalam melakukan analisis menggunakan penanda genetik, polimorfik merupakan faktor penting. Polimorfisme diperlukan karena penanda genetik harus dapat membedakan individu-individu dalam populasi yang diteliti. Polimorfisme adalah penampilan bentuk yang berbeda yang berasosiasi dengan berbagai macam alel dari satu gen atau homolog dari satu kromosom.

Penanda morfologi

Analisis menggunakan morfologi banyak digunakan karena kemudahan pengamatan dan pencatatan, data juga dapat diperoleh dari koleksi yang sudah diawetkan.Tetapi ekspresi sifat genetik ke dalam sifat fenotip dipengaruhi oleh faktor lingkungan . Identifikasi dan karakterisasi keragaman hayati juga dapat dilakukan melalui analisa morfologi dan anatomi. Demikian juga analisis pewarisan sifat, atau analisis hasil persilangan dapat menggunakan morfologi.

Penanda sitologi

Sitologi yang merupakan cabang biologi yang mempelajari segala sesuatu mengenai sel, banyak digunakan dalam identifikasi keragaman hayati, terutama dalam penentuan tingkat ploidi. Hubungan kekerabatan intra- dan inter-spesies juga dapat ditentukan melalui analisis sitologi dengan perhitungan dan pengamatan kromosom.

Penanda biokimia

Selain kedua penanda di atas (morfologi dan sitologi), analisis biokimia dengan menggunakan isozim dilakukan dalam mengkarakterisasi plasma nutfah. Isozim adalah enzim-enzim yang memiliki molekul aktif dan struktur kimia yang berbeda tetapi mengkatalis reaksi kimia yang sama .

Penanda molekuler

Analisis penurunan sifat, keragaman maupun deteksi mutasi sekarang ini menggunakan penanda DNA, karena beberapa kelebihan antara lain tidak dipengaruhi oleh umur sample, asal jaringan maupun faktor lingkungan. Pada tumbuhan DNA terdapat di nucleus, mitokondria dan kloroplas. Penanda ini mulai dipakai semenjak ditemukannya secara berturut-turut enzim endonuklease restriksi, teknik Southern blot, dan PCR

Makalah ini hanya membicarakan tentang aplikasi dari penanda mikrosatelit pada sapi, RAPD pada karet dan kegunaan dari RFLP serta aplikasi nya dibahas singkat pada beberapa spesies tumbuhan.

1.2. Permasalahan

Pembahasan mengenai penanda genetic mikrosatelit, RAPD,RFLP, dibahas secara sederhana dikarenakan sumber referensi yang masih terbatas.

1.3. Manfaat

Mengetahui metode yang digunakan secara molekuler untuk mengelompokkan, mengetahui karakter , sifat dari spesies yang diharapkan dapat memberi manfaatyang besar kepada manusia.

1.4.Tujuan

Dengan pembahasan yang sederhana ini , dapat bermanfaat untuk memacu penambahan pengetahuan mengenai bahasan penanda molekuler lebih dalam.

BAB II. PEMBAHASAN

2.1. Mikrosatelit

Penggunaan mikrosatelit pada tanaman mangga.

Penanda molekuler mikrosatelit merupakan penanda yang banyak digunakan untuk analisis keragaman pada tanaman. Kelebihan mikrosatelit antara lain memiliki tingkat polimorfisme tinggi, penanda yang kodominan dan spesifik lokus serta tersebar pada genom tanaman menjadikannya pilihan yang baik untuk studi keragaman genetik dan heterozigositas. Penggunaan mikrosatelit untuk analisis keragaman pada mangga sangatlah penting karena Indonesia memiliki lebih dari 250 varietas mangga dan ini merupakan sumber genetik yang potensial untuk program pemuliaan tanaman mangga. Beberapa motif mikrosatelit telah ditemukan pada mangga yaitu GT24AG10,T7ATGT3AT3GT17, AAG4TCC3AAT3, dan CCG6. Pada penelitian ini pertama-tama dilakukan isolasi DNA dari tiga puluh varietas mangga. Empat pasangan primer dirancang dan disintesis yang mengapit motif mikrosatelit. DNA dari ketiga puluh varietas mangga selanjutnya diamplifikasi dengan masing-masing pasangan primer. Hasil dari amplifikasi dielektroforesis pada gel poliakrilamida non-denaturasi dan diwarnai dengan pewarna perak nitrat. Empat pasang primer mikrosatelit tersebut bersifat polimorfik karena menunjukkan polimorfisme yang tinggi untuk masing-masing lokus yang diamplifikasi. Hal ini didukung oleh nilai PIC (Polymorphic Information Content). Nilai PIC sendiri ekuivalen dengan nilai expected heterozigosity sehingga dapat disebutkan bahwa varietas-varietas mangga tersebut juga memiliki heterozigositas yang tinggi. Hasil dendrogam dengan program NTSYSpc 2.0 dari 4 lokus mikrosatelit yang digunakan menunjukkan bahwa penanda-penanda tersebut mampu membedakan 30 varietas mangga. Sehingga keempat penanda lokus mikrosatelit tersebut dapat direkomendasikan sebagai penanda molekuler yang baik untuk analisis keragaman genetik pada mangga.

Marka molekuler mikro satelit yang digunakan pada sapi Bali.

1. Polimorfisme 12 penanda mikrosatelit (BM 2113, CSSM 66, ETH 3, ETH 10, ETH 152, ETH 225, HEL 1, HEL 5, ILSTS, INRA 023, INRA 032 dan INRA 035) telah dipelajari pada sapi bali (Bos sandaicus). Sampel DNA yang diekstraksi dari 25 ekor sapi digunakan sebagai materi utama. Amplifikasi PCR dilakukan menggunakan 12 pasang primer pengapit mikrosatelit. Produk PCR dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid 6 persen. Metode pewarnaan perak digunakan untuk mendeteksi alel setiap lokus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 12 lokus mikrosatelit yang dianalisis, rata-rata alel yang diperoleh 1,83 buah, dengan jumlah alel tertinggi 3 dan terendah 1. Variasi genotipe yang rendah pada populasi sapi bali menunjukkan bahwa bangsa sapi bali masih memiliki kemurnian tinggi.

2. Potensi mikrosatelit sebagai penanda bangsa sapi. Salah satu karakteristik utama mikrosatelit adalah hypervariable yang jumlah alelnya dapat mencapai lebih dari 18 buah per lokus. Ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa alel suatu mikrosatelit pada suatu bangsa sapi berbeda dengan alel pada bangsa sapi lainnya. Untuk mengetahui potensi mikrosatelit sebagai penanda bangsa sapi, delapan pasang primer digunakan untuk menganalisis empat bangsa sapi yang terdiri atas sapi bali (10 ekor), simmental, limousin dan brangus (masing-masing 3 ekor). DNA sekuen delapan primer tersebut diperoleh berdasarkan informasi dari international cattle diversity project dan sampel DNA sapi diisolasi dari sperma. Hasil analisis terbatas pada bangsa sapi yang berada di BIB Singosari, Malang, menunjukkan bahwa ada kemungkinan terdapat alel spesifik untuk bangsa sapi bali dari mikrosatelit HEL9 dan sapi brangus dari mikrosatelit ILSTS005. Dari seluruh mikrosatelit yang dianalisis, diketahui bahwa jumlah alel berkisar 1 sampai 3 dengan rataan 1,78 pada sapi bali, 1,56 pada sapi simmental dan 1,22 pada sapi brangus dan limousin. Untuk lebih meyakinkan hasil yang telah diperoleh, perlu dianalisis kestabilan penurunan alel pada keturunannya.

3. Uji kemurnian sapi bali melalui protein, DNA mikrosatelit, dan struktur bulu.Upaya mempertahankan kemurnian sapi bali terus dilakukan untuk melestarikan keanekaragaman plasma nutfah, disamping memanfaatkannya sebagai ternak penghasil daging yang potensial di Indonesia. Ketepatan uji kemurnian dan atau keturunan sapi bali yang potensial menjadi penting artinya dalam konteks tersebut. Melalui perbedaan alel yang terdapat pada protein (Hemoglobin), DNA mikrosatelit serta perbedaan struktur bulu rambut, uji kemurnian sapi bali dilakukan dalam skala terbatas. Secara keseluruhan, semen beku dari ekor sapi (delapan sapi bali, tiga simental, dua brangus dan tiga limousin), sampel darah dari delapan ekor sapi bali dan tujuh ekor sapi Madura digunakan dalam penelitian. Selain hemoglobin, delapan pasang primer pengapit mikrosatelit digunakan sebagai penciri dalam uji kemurnian tersebut. Hasil penelitian menunjukkan adanya kespesifikan hemoglobin dan alel DNA mikrosatelit pada sapi bali, yang oleh karena itu sangat mungkin digunakan sebagai alat pendeteksi kemurnian sapi bali. Selain itu, walaupun agak sulit dijustifikasi, terdapat pula perbedaan struktur bulu rambut sapi bali dengan struktur rambut bangsa sapi lainnya. Namun demikian, konsistensi hasil penelitian ini perlu diuji lagi di lapangan khususnya dalam hal penurunan alel tersebut dari tetua ke progeninya.

4. Variasi genetik berdasarkan 16 lokus mikrosatelit pada populasi sapi bali dan madura. Mikrosatelit sebagai penanda genetik molekuler, tersebar secara melimpah pada genom dan memiliki polimorfisme tinggi serta mudah diamplifikasi menggunakan PCR. Sebanyak 16 lokus mikrosatelit (BM 2112, CSSM 66, ETH 3, ETH 10, ETH 152, ETH 185, ETH 225, HEL 1, HEL 5, HEL 9, ILSTS, INRA 023, INRA 032, INRA 035, INRA 037 dan HAUT 24) telah digunakan untuk mendeteksi variasi genetik pada populasi sapi bali dan madura. Penggunaan teknik PCR dengan 16 pasang primer pengapit lokus mikrosatelit dilakukan untuk amplifikasi sampel DNA yang diekstraksi dari darah sapi bali dan madura (masing-masing berasal dari habitat asalnya). Vertikal elektroforesis dengan 6 persen gel poliakrilamida digunakan untuk pemisahan produk PCR. Deteksi alel pada masing-masing lokus digunakan teknik pewarnaan perak (silver staining). Variasi genetik ditetapkan berdasarkan variasi alel pada setiap lokus. Hasil studi menunjukkan bahwa jumlah alel rata-rata dari 16 lokus adalah 1,94 pada sapi bali dan 2,12 pada sapi Madura, sedangkan jumlah alel tertinggi adalah 4 dan 5 buah masing-masing pada sapi bali dan sapi Madura. Alel terendah 1 buah terdapat pada kedua populasi. Variasi alel yang rendah pada masing-masing populasi menunjukkan bahwa variasi genetik sapi Bali dan Madura rendah sehingga diduga tingkat introduksi gen dari populasi lain rendah. Hal ini dapat pula sebagai indikasi awal bahwa kemurnian genetik kedua populasi sapi masih terjaga.

2.2. Penanda molekul RAPD pada tanaman sawit

Kelapa sawit merupakan tanaman komoditas perkebunan yang cukup penting di Indonesia dan masih memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah. Komoditas kelapa sawit, baik berupa bahan mentah maupun hasil olahannya, menduduki peringkat ketiga penyumbang devisa nonmigas terbesar bagi Indonesia setelah karet dan kopi.Salah satu hambatan untuk meningkatkan produksi kelapa sawit adalah adanya gangguan penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh fungi Ganoderma spp. (Basidiomycetes). Ganoderma adalah jamur yang menyebabkan penyakit busuk akar (basal stem rot). Infeksi dan penularan penyakit pada umumnya terjadi melalui kontak akar atau bagian pangkal batang dengan sumber inokulum di dalam tanah . Pada umumnya gejala penyakit ini pada kelapa sawit atau tanaman lainnya sulit diketahui secara dini dan serangannya baru terlihat ketika tanaman hampir mati dikarenakan setelah infeksi, perkembangan serangan penyakit pada jaringan tanaman terjadi relatif lambat yaitu 6-12 bulan . Penyakit BPB menyebabkan kerugian besar pada perkebunan kelapa sawit Indonesia, dimana tingkat kematian tanaman akibat serangan penyakit ini dapat mencapai 50% atau lebih . Gejala luar awal serangan penyakit sulit dideteksi sehingga penanganannya sulit dilakukan. Tanaman yang sakit mengalami pembusukan pada jaringan dalam pangkal batangnya, sehingga dapat mengakibatkan tanaman mati atau tumbang sebelum waktunya.
Salah satu upaya yang dianggap paling ideal dalam usaha penanggulangan penyakit adalah melalui pemuliaan tanaman sehingga diperoleh tanaman yang tahan. Jika pemuliaan tanaman harus dilakukan secara konvensional, kendala yang dihadapi adalah siklus pemuliaan yang panjang karena merupakan tanaman tahunan. Di samping itu tanaman kelapa sawit yang ada di Indonesia memiliki latar belakang genetik yang sempit. Kegiatan awal pemuliaan adalah mencari tanaman yang bisa digunakan sebagai breeding materials baik untuk bahan tetua persilangan atau sebagai populasi dasar. Hal ini berkaitan erat dengan keragaman atau variabilitas material tersebut. Oleh karena itu perlu dikembangkan teknik deteksi dini dan pencarian varietas tahan melalui seleksi.
Oleh karena itu, perlu adanya pemecahan masalah terhadap kendala awal yang dihadapi tersebut.

Pemecahan masalah pada penyakit yang disebabkan Ganoderma.

Seleksi sebagai langkah awal dari pemuliaan, dilakukan untuk mendapatkan suatu populasi dasar atau tetua sebagai bahan persilangan yang nantinya akan diteruskan dengan tahap-tahap lainnya, sampai mendapatkan varietas yang tahan. Untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap serangan Ganoderma dari banyak populasi plasma nutfah dilakukan dengan seleksi. Cara seleksi antara lain secara konvensional maupun menggunakan bioteknologi.

Seleksi konvensional dengan cara pengamatan pada beberapa petak percobaan yang telah terserang Ganoderma.

Cara yang mudah adalah membiarkan adanya serangan pada kelapa sawit di lahan, kemudian memilih pohon induk. Pohon induk yang terpilih adalah pohon sehat, yang sekelilingnya telah terserang Ganoderma. Dari beberapa tanaman yang terserang didapatkan derajat toleransi yang berbeda-beda.. Perbedaan tersebut perlu diteliti apakah tanaman tersebut memang memiliki gen ketahanan atau karena tidak terserang. Deteksi dini dan analisis ketahanan pada waktu seleksi di lapang, bisa dilakukan dengan membongkar kemudian membelah secara membujur pada jaringan yang terserang. Dengan membandingkan aktivitas beberapa protein yang berhubungan dengan patogenitas (pathogenicity related proteins), dapat diketahui bahwa aktivitas enzim glucanase dan chitinase meningkat pada jaringan yang sehat di dekat jaringan yang berbatasan dengan jaringan yang diserang patogen. Kedua enzim tersebut dapat menghancurkan glucan dan chitin yang merupakan komponen utama dari dinding sel fungi.
Ginting, Fatmawati dan Hutomo (1993) dalam penelitiannya telah ditemukan pohon yang sehat. Hal ini mengindikasikan derajat toleransi tanaman terhadap penyakit ini berbeda-beda. Pada percobaan didapatkan beberapa pohon yang sehat dan diduga pohon-pohon ini mempunyai derajat toleransi yang tinggi sehingga dapat terhindar dari serangan Ganoderma. Tentunya kalaupun ada tanaman yang tahan, namun ketahanannya terhadap beberapa isolat Ganoderma belum teruji. Dan disebutkan bahwa derajat toleransi tersebut ada hubungannya dengan sifat genetik tanaman.Tanaman sehat tersebut kemudian diperbanyak melalui teknik kultur jaringan. Tingkat keberhasilan tiap tanaman membentuk kalus bergantung pada individu asal tanaman, tingkat umur, posisi explant serta konsentrasi fitohormon. Dari plantlet yang didapat masih perlu diuji lagi derajat toleransinya terhadap Ganoderma.

Teknik penanda molekuler RAPD sebagai perangkat diagnostic

Dalam usaha membantu memperpendek siklus seleksi diatas untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap serangan Ganoderma, identifikasi penanda molekuler perlu dilakukan. Yang dimaksud dengan penanda molekuler di sini adalah pita DNA produk RAPD atau restriction fragment length polymorphism (RFLP) yang keberadaannya bertautan dengan gen ketahanan.

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, identifikasi penanda molekuler dilakukan dengan teknik differential display reverse transcriptase-polymerase chain reaction (DDRT-PCR). Teknik ini pada prinsipnya adalah membandingkan keberadaan produk amplifikasi hybrid messenger.RNA dan DNA komplementernya (mRNA-cDNA hybrid) pada dua atau lebih jenis jaringan yang berbeda kondisinya. Dengan teknik tersebut,penanda molekuler akan diidentifikasi melalui pengisolasian messenger RNA (mRNA) yang secara spesifik diekspresikan sebagai respon terhadap infeksi yang ada. Ginting (1993) menyebutkan bahwa telah ditemukan pohon induk kelapa sawit yang tahan terhadap serangan Ganoderma di Blok 39,Afd. I, Kebun Tinjowan. Hal ini membuka peluang untuk memindahkan sifat tahan tersebut kepada keturunannya melalui persilangan. Akan tetapi marker DNA dari sifat ketahanan tersebut belum ditemukan sampai saat ini. Sehingga sifat perwarisannya perlu diteliti lebih jauh lagi.

Salah satu upaya yang dianggap paling ideal dalam usaha penanggulangan penyakit yang diakibatkan jamur Ganoderma pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack.) adalah melalui pemuliaan tanaman sehingga diperoleh tanaman yang tahan. Salah satu upaya awal untuk mendapatkan tanaman kelapa sawit adalah melalui seleksi baik secara konvensional maupun dengan teknik differential display reverse transcriptase-polymerase chain reaction (DDRT-PCR). Dengan penanda molekuler tersebut diharapkan dapat dengan cepat mengidentifikasi klon yang tahan terhadap Ganoderma. Percobaan pada Tetua Dura pada Kebun Tinjowan mendapatkan pohon induk yang tahan terhadap Ganoderma. Derajat ketahanan tersebut ada kaitannya dengan sifat genetik dari tanaman tersebut. Walaupun belum didapatkan markernya.

Penelitian lebih lanjut mengenai genetic marker, pola pewarisan sifat maupun langkah-langkah pemuliaan lebih lanjut perlu untuk tetap diupayakan. Hal ini dikarenakan kelapa sawit sebagai penyumbang devisa yang besar terhadap negara.

Informasi kesamaan genetik atau hubungan filogenetik antar klon-klon tanaman karet sangat penting untuk diketahui. Informasi ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan tetua dalam persilangan buatan. Tujuan percobaan adalah untuk mengetahui jarak genetik diantara klon-klon karet dengan menggunakan penanda RAPD. Analisis dilakukan pada 30 klon tanaman karet dengan empat random primer. Produk amplifikasi yang polimorfik digunakan untuk melihat koefisien kesamaan. Hal ini digunakan untuk menyusun dendogram dengan menggunakan Unweighted Pair-Group Method With Arithmetical Averages (UPGMA). Amplifikasi DNA genom 30 klon menghasilkan 701 fragmen DNA dengan ukuran 250-3000 bp. Matrik kesama-an genetik yang dihasilkan cukup tinggi (63,1-95,8%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar klon memiliki polimorfisme yang rendah. Nilai kesamaan genetik terendah (63,1%) ditemukan antara klon RRIC 110 dan IRR 105 dan tertinggi (95,8%) pada klon BPM 107 dan IRR 100. Analisis cluster menunjuk-kan bahwa 30 klon tanaman karet terbagi menjadi dua kelompok, satu kelompok besar terdiri dari 28 klon, sementara kelompok lain terdiri dari dua klon dengan nilai kesamaan genetik 0,72.

2.3. Hevea-brasiliensis, RAPD, kesamaan genetik

Perbaikan produktivitas tanaman karet (Hevea brasiliensis) melalui persilangan berjalan lambat. Lambatnya kenaikan produktivitas disebabkan oleh terbatasnya sumber genetik yang ada. Sejak diintroduksikannya plasma nuftah hasil ekspedisi IRRDB 1981, maka pembentukan keragaman dilakukan dengan mengkombinasikan antara klon yang berasal dari populasi Wickham 1876 dan PN IRRDB 1981. Pada saat ini usaha untuk mempercepat masa seleksi telah diupayakan dengan mengadopsi pengujian Plot Promosi yang dapat menghemat waktu sekitar 10 tahunan. Strategi lain yang banyak dikembangkan saat ini untuk mempercepat siklus seleksi pada tanaman yaitu dengan menggunakan teknik marka molekuler. Teknik RAPD (Random Amplified Polimorphisme DNA) banyak digunakan untuk analisis genetik tanaman dengan berdasar pada PCR (Polymorphisme Chain Reaction). Penelitian untuk mendapatkan suatu metode molekuler guna mempersingkat siklus pemuliaan tanaman karet dilakukan di Balai Penelitian Sungei Putih dan Laboratorium Biologi Molekuler Marihat-Pusat Penelitian Kelapa Sawit, pada bulan Agustus 2005 – Agustus 2006. Parameter morfologi dianalisis mengguna-kan statistik sederhana dan pengelompokan karakter yang diamati dengan menggunakan metode UPGMA. Analisis marka molekuler dilakukan dengan NTSYS (Numerical Taxanomy and Multivariate Analysis System) versi 2,10. Peta pautan dilakukan dengan penggunaan MAPMAKER 3,0 b. Keragaman progeni hasil dari persilangan interpopulasi antara RRIM 600 dengan PN 1546 yang tertinggi diketemukan pada parameter tiol, produksi lateks, fosfat anorganik, dan sukrosa berturut-turut 92,96%, 78,90%, 54,85%, dan 45,28%. Variasi parameter diameter pembuluh lateks, jumlah pembuluh lateks, dan tebal kulit terlihat rendah. Hasil pengelompokan parameter menunjukkan bahwa potensi produksi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tebal kulit dan jumlah pembuluh lateks, selanjutnya dengan lilit batang dan diameter pembuluh lateks. Parameter fisiologi lateks hubungannya tidak secara langsung terhadap produksi lateks. Analisis DNA, dimulai dari penapisan primer. Dari 24 primer yang digunakan pada penelitian ini telah menghasilkan 14 primer bersifat polimorfik, 2 primer bersifat monomorfik, dan 8 primer tidak teramplifikasi. Dari 14 primer yang polimorfik dihasilkan 73 pita dengan ukuran antara 200 – 5000 bp. Hasil pengelompokan terhadap tetua dan projeninya dengan menggunakan marka molekuler menghasilkan dua kelompok utama A dan B. Kelompok A terbagi lagi menjadi 5 sub-kelompok. Sebagian besar projeni dalam kelompok A jarak genetiknya lebih dekat dengan tetua jantan. Projeni di kelompok B mempunyai jarak genetik yang jauh lebih baik terhadap tetua jantan maupun tetua betinanya. Tetua jantan dan betina tidak dalam satu kelompok. Konstruksi peta pautan yang terbentuk pada tetua betina hanya satu kelompok pautan (LOD 3,10; fraksi rekombinasi 0,25) dengan primer OPC14_650 – OPC14_500 pada jarak 4,2 cM; sedangkan pada tetua jantan terbentuk dua kelompok pautan (LOD 1,50; fraksi rekombinasi 0,25) OPC16_650 – OPD05_600 pada jarak 32,7 cM dan kelompok pautan OPN05_500 – OPH04_375 pada jarak 32,7 cM

2.4. Penggunaan penanda genetika RFLP

Analisis penanda RFLP dapat digunakan untuk :

1. Menduga hubungan kekerabatan dan filigenik dari beberapa individu yang dianalisis.

2. Menduga ada tidaknya variasi genetika dari koleksi plasma nutfah

3. Memonitor kemurnian benih hibrida.

4. Memonitor proses seleksi berbagai karakter aggronomis penting yaitu dengan menganalisis simultan dari beberapa lokus yang bersegregasi maka dapat dilakukan study lingkage

5. Memilah – milah komponen genetic dari karakter kuantitatif.

6. Mengidentifikasi identitas produk hasil percobaan fusi protoplama.

7. Menganalisis gen yang berasal dari donor tanaman dalam proses introgesi genetic

8. Menganalisis gen yang berasal dari proses tranformasi genetic.

Aplikasi penanda RFLP

Penelitian dengan menggunakan RFLP telah banyak dilakukan dengan bebagai tujuan :

1. Analisis keragaman genetic berdasarkan polimorfisme DNA diantara genus Capsicum, kedelai, Paspalum spp, dan kepala.

2. Identifikasi penanda RFLP yang terpaut dengan gen Lr24 yaitu gen resisten karat daun yang diturunkan dari Agroviron elongatum pada gandum.

Keterpautan antara penanda RFLP dengan gen resistensi clubroot dan pigmentasi pada Brassica rape ssp.

3. Pemetaan gen ketahan terhadap Cercospora yang terpaut pada penandda RFLP pada bit gula menggunakan QTL, pemetaan gen steril jantan baru yang menyebabkan endosperma berwarna kusam dan pemetaan gen yang berhubungan dengan berat kedelai.

4. Analisis kekerabatan dan filogenik pada Daucus berdasarkan genom mitokondria dan kloroplas.

5. Membandingkan jarakgenetik yang diperoleh dengana penanda RFLPdan AFLP pada Lactuca.

III. KESIMPULAN

1. Sebutkan beberapa teknik marka molekuler ……..

2. Merupakan alat bantu mengidentifikasikan genetic suatu individu ……..

3. Penampilan bentuk yang berbeda yang bervariasi dengan berbagai macam alel dari suatu gen atau homolog dari suatu kromosom ………..

4. Penanda digunakan karena kemudahan pengamatan dan pencatatan padat diperoleh dari koleksi yang sudah diawetkan ……….

5. Penanda yang digunakanuntuk hubungan kekerabatan intra – inter spesies dengan perhitungan dan pengamatan kromosom …….

6. Analisi dengan menggunakan isozim……..

7. Analisis dengan DNA penanda………

8. Polymerase Chain Reaction …….

9. Diagram kekerabatan……..

10. Tempat gen berada…….

11. Metode pewarnaan untuk mendeteksi alel setiap lokus ……

12. Salah satu karakter utama mikrosatelit……….

13. Penyakit PBB pada sawit disebabkan jamur …….

BAB IV. DAFTAR PUSTAKA

Admaja, Adi. 2001. Laporan Praktek Kerja lapang. Teknik Budidaya Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) di Desa Jatikerto Malang. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

Darmono. 1996. Pendekatan Bioteknologi untuk Mengatasi Masalah Penyakit Busuk Pangkal Batang Kelapa Sawit Akibat Serangan Ganoderma. Warta Puslit. Biotek Perkebunan,1,17-25


Fetrina Oktavia, Mudji Lasminingsih, Sigit Ismawanto dan Kuswanhadi Genetic Analysis of Rubber Clones (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Using RAPD Marker.



Ginting, Fatmawati dan Hutomo. 1993. Perbanyakan Pohon Induk Dura yang Diduga Toleran Terhadap Ganoderma Melalui Teknik Kultur Jaringan. I. Penelitian Pendahuluan. Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit 1(1):21-25



Hardjowigeno. 1987. Ilmu Tanah. Medya Sarana Perkasa. Bogor. Hal 14-21



Hillis DM. 1987. Molecular versus morphological approaches to systematics. Annual Review of Ecology and Systematics 18: 23-42.

Samosir dan Ginting. 1996. Perkembangan Teknik Kultur Jaringan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Warta Puslit. Kelapa Sawit 4(2):53-59


Sastrosayono. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Rafalski JA, Tingey SV. 1993. Genetic diagnostics in plant breeding: RAPDs microsatellites and machines. TIG 9: 275-279.