S e l a m a t   D a t a n g di Blog Pusat Sumber Belajar SMA Negeri 1 Kota Cirebon Info : Ferifikasi Data Siswa Baru/PPDB SMA RSBI Negeri 1 Kota Cirebon dari tanggal 5 - 15 Mei 2012 silahkan Klik ke www.smansa.ppdbrsbi-cirebon.org

Sabtu, 14 Agustus 2010

Menggali dan Meneladani Kearifan Nabi Muhammad Saw


Oleh Dr. Asep Usman Ismail, MA. *]

Al-Qur’an menginformasikan bahwa Nabi Muhammad Saw itu merupakan teladan agung bagi umat manusia. “Sungguh, telah ada pada [diri] Rasulullah Saw itu suri teladan yang baik bagi kamu sekalian [kaum beriman], yaitu bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” [QS al-Ahzab [33]: 21]. Keteladan Rasulullah Saw itu tidak hanya terbatas sejak beliau diangkat menjadi nabi dan rasul, tetapi juga sejak beliau dilahirkan hingga beliau wafat. Seluruh perjalanan hidup dan perjuangan beliau menjadi uswah hasanah, teladan yang baik, bagi umat manusia.

Dalam istilah agama perjalanan hidup dan perjuangan beliau dinamakan al-sunnah. Secara kebahasaan, perkataan sunnah berarti kebiasaan atau tradisi, namun dalam istilah agama sunnah adalah apa yang menjadi kebiasaan Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau tentang suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, baik sejak diangkat menjadi nabi dan rasul maupun sebelumnya. Singkatnya. sunnah adalah sîrah atau perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw sejak lahir hingga wafat yang keseluruhannya merupakan uswah, teladan agung, bagi umat manusia.

Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara singkat model-model uswah, keteladanan, dan kearifan Rasulullah Saw dalam kehidupan beliau, baik ketika remaja maupun sesudah menjadi nabi dan rasul dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan pemerintahan di Madinah.

Pertama, Memiliki Kebiasaan Ta’ammulât yang Kuat
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, meskipun terlahir sebagai yatim dan harus kehilangan ibunda tercinta ketika berusia 4 tahun, beliau tumbuh sebagai remaja yang cerdas [fathânah], jujur dan dapat dipercaya [amânah], serta benar [shiddîq] dalam ucapan dan perbuatan. Ketiga sifat terpuji yang melekat pada pribadi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib ini kemudian ketika diangkat menjadi nabi dan rasul terpadu secara simfoni dengan sifat tablîgh [menyampaikan pesan, misi, atau risalah] yang diwahyukan Allah kepada beliau. Keempat sifat ini merupakan sifat yang wajib, harus ada secara rasional, pada diri seorang nabi dan rasul guna menopang kompetensi beliau sebagai utusan Allah. Menurut para penulis sîrah [biografi] beliau, seperti Muhammad Husain Haikal, rahasia sukses Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib tidak hanya ditentukan oleh empat sifat yang menjadi kredibilitas seorang nabi dan rasul tersebut, tetapi juga karena beliau sejak remaja sudah memiliki kebiasaan ta’ammulât, mengamati, memikirkan, dan merenungkan keadaan sekitar, baik keadaan alam, geografi, sosial, politik, maupun kebudayaan, termasuk adat istiadat masyarakat Arab pada waktu itu.

Hasil dari proses ta’ammulât yang dilakukan secara tekun dan teliti itu mengantarkan Muhahammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib menjadi remaja yang memiliki talenta yang gemilang, antara lain seperti:

1. Kepekaan dan responsif terhadap berbagai masalah sosial dan kemanusiaan yang terjadi di Mekah dan sekitarnya. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau terlibat aktif dalam Persekutuan Hilful Fudhul, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam masalah kemanusiaan. LSM ini berdiri dengan dilatarbelakangi kasus seorang petani kecil dari Bani Zubaid yang menjual hasil pertanian kepada seorang konglomerat di Mekah bernama Ashi bin Wail as-Sahmi. Petani itu terus mengirimkan berbagai komoditas kepada pedagang besar di Mekah itu, tetapi Ashi bin Wail as-Sahmi tidak mau membayarnya. Petani kecil yang dizalimi itu kemudian berdiri di muka Ka’bah, lalu menyampaikan keprihatinannya di depan publik yang biasa berkumpul di sekitar tempat suci itu. Keluhan petani ini direspon oleh Zubair bin Abdul Muthalib dengan mengajak beberapa pemuka Quraisy untuk mendirikan sebuah LSM yang diberi nama Hilful Fudhul [Sumpah Setia untuk Kebajikan/Kemanusiaan]. Di antara pemuka Quraisy yang menjadi penggagas LSM kemanusiaan ini berasal dari Bani Hasyim, Bani Al-Muthalib, Bani Asad bin Abdul ‘Uzza, dan Bani Ta’im bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman Abdullah bin Ja’dan untuk mendeklarasikan berdirinya Hilful Fudhul yang bertujuan: [1] Memerangi kezaliman yang dilakukan oleh siapa pun kepada siapa saja di kota Mekah; [2] Menegakkan keadilan dan menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan yang telah punah di kota Mekah dan Jazirah Arabia pada umumnya. Perihal keterlibatan Rasulullah Saw di dalam gerakan Hilful Fudhul ini, beliau menjelaskan: “Ketika itu bersama para pamanku, aku terlibat aktif dalam pendirian Hilful Fudhul di rumah Abdullah bin Jad’an, dan turut berkiprah dalam perjuangan Hilful Fudhul guna mewujudkan cita-citanya yang mulia. Seandainya setelah Islam datang aku diajak mengadakan persekutuan serupa itu, pasti kusambut dengan baik.”
2. Kreatif, inovatif, dan cerdas dalam mencari berbagai solusi guna menghindari konflik di kalangan tokoh Quraisy yang hampir menyulut pertengkaran dan perang dengan mewujudkan perdamaian yang bermartabat. Diriwayatkan bahwa para pemuka Quraisy dari berbagai kabilah besar di Mekah sedang berselisih pendapat tentang siapa yang paling berhak untuk mengembalikan Hajar Aswad pada posisinya yang tepat di dalam Ka’bah. Tugas mengembalikan Hajar Aswad ke dalam posisinya di Ka’bah, bagi masyarakat Mekah, merupakan hak bagi kabilah-kabilah besar, sekaligus menjadi simbol kehormatan dan kebanggaan dalam memelihara Ka’bah, tempat suci yang sangat mereka hormati. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, remaja yang terbiasa melakukan ta’ammulat tkolom_teladan2_ed46erhadap berbagai masalah sosial di Mekah mengusulkan solusi cerdas dalam menentukan kabilah mana yang paling berhak dalam mengembalikan Hajar Aswad ke dalam posisinya pada Ka’bah. Menurut Muhammad, semua kabilah yang berselisih bisa berpartisipasi secara terhormat dalam mengembalikan Hajar Aswad ke dalam posisinya pada Ka’bah dengan cara meletakkan Hajar Aswad itu dalam sorban, kemudian keempat kabilah besar yang berselisih itu memegang keempat sudut sorban tersebut dan mengangkatnya secara bersama, kemudian memilih seorang yang bisa diterima oleh keempat kabilah itu untuk menempelkan Hajar Aswad pada Ka’bah. Usul Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib ini diterima dengan lapang dada oleh semua kabilah yang berselisih dan mereka pun sepakat mempercayakan penempelan Hajar Aswad ke dalam posisinya pada Ka’bah kepada Muhammad.

Dengan demikian, sosok Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib sejak remaja adalah pribadi yang tidak menjadi sumber masalah bagi lingkungan sosialnya, tetapi kehadirannya menjadi solusi bagi berbagai masalah dengan kreatif, inovatif, dan cerdas. Solusi yang diusulkan beliau kepada pemuka Quraisy dalam menyelesaikan perselisihan tentang siapa yang berhak mengembalikan hajar aswad ke dalam posisinya pada Ka’bah adalah solusi yang cerdas dengan menjaga martabat dan kehormatan semua kabilah yang berebut untuk menjadi pelaku utama dalam melaksanakan tugas memelihara eksistensi Hajar Aswad pada Ka’bah.

Di dalam solusi yang diusulkan Muhammad itu terdapat nilai-nilai kearifan yang bisa menjadi inpirasi bagi pejuang perdamaian, keadilan dan kemanusiaan. Pertama, nilai kebersamaan. Kabilah-kabilah Arab yang saling berebut kewenangan [otoritas], kesempatan, dan kekuasaan untuk meraih kehormatan dalam melayani tempat suci sangat menekankan ego kelompok, menguras energi, menyulut konflik yang tidak jarang pertentangan itu bermuara pada perang antar-kabilah karena mempertahankan kehormatan dan harga diri masing-masing. Antarah, seorang penyair Arab masa jahiliyah, menyatakan: “Harga diri dan kehormatan masing-masing kabilah itu adalah pertahanan terakhir yang harus dibela dengan harta dan jiwa.” Nilai kebersamaan yang diusulkan seorang pemuda bernama Muhammad bin Abdullah itu telah berhasil mengubah energi negatif yang saling menghancurkan menjadi energi positif yang saling mengisi dan memberi dalam kebersamaan dengan tidak seorang pun di antara kabilah-kabilah itu merasa kehilangan kehormatan, harkat, dan martabat masing-masing. Di dalam kebersamaan terdapat kekuatan, bahkan di dalam kata-kata hikmah disebutkan: “Yadullâh ma’al jamâ’ah” [tangan Tuhan berada dalam jama’ah/kebersamaan].

Kedua, nilai partisipasi. Usulan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib yang mengajak dan melibatkan semua kabilah yang berebut kesempatan dan kehormatan untuk menempelkan kembali Hajar Aswad yang lepas pada tempatnya di dalam Ka’bah dinilai telah melegakan semua pihak. Mengajak dan melibatkan kabilah-kabilah Arab yang saling berebut kesempatan dan kehormatan untuk mengambil bagian dan tanggungjawab dalam melayani tempat suci dirasakan oleh semua pihak sebagai usaha untuk menghidupkan kembali nilai-nilai keutamaan yang hampir punah dalam tata pergaulan masyarakat Arab jahiliyah. Nilai partisipasi dengan mengajak dan melibatkan pihak-pihak yang berebut kesempatan dan kehormatan untuk melakukan kegiatan bersama ternyata dapat meredam konflik, karena masing-masing pihak merasa dihargai hak dan harga dirinya sebagai Kabilah Arab yang merasa memiliki Ka’bah, tempat suci yang mereka hormati.

Kedua, mengalah beberapa langkah untuk meraih sukses yang gemilang
Rasulullah Saw bersama para sahabat Muhajirin tidak terasa sudah enam tahun menetap di Madinah. Beliau merasakan kerinduan yang mendalam untuk melihat Ka’bah. Kerinduan untuk melihat Ka’bah ini terkendala oleh realitas sosial politik yang terjadi di antara Madinah dan Mekah. Rasulullah Saw adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Madinah, selain kedudukan beliau sebagai nabi dan rasul. Di antara dua negara kota ini sedang terjadi konflik dan ketegangan serta perang dingin, bahkan beberapa kali meletus menjadi perang terbuka seperti Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq. Akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya perang di antara dua negara kota ini, Mekah dan Madinah, adalah perbedaan keyakinan agama. Rasulullah Saw mengajarkan prinsip tauhid [monoteisme] yang menekankan prinsip tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah yang bersumber pada wahyu dari Allah. Sementara itu, para petinggi Mekah mempertahankan agama leluhur yang berpijak pada tradisi pemujaan dewa-dewa sebagai médium untuk menghadap Allah. Perang di antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin berlangsung sesuai dengan hukum alam, kalah dan menang saling berganti sebanding lurus dengan kekuatan motivasi, strategi, konsistensi, manajemen, sumber daya manusia, persenjataan, dan berbagai sarana penunjang. Perang Badar menjadi kemenangan bagi kaum Muslimin, sedangkan Perang Uhud merupakan pengalaman kalah yang sangat berharga bagi Nabi dan kaum beriman, serta kemenangan bagi kaum musyrikin Mekah.

Dalam suasana ketegangan dan perang dingin ini, Rasulullah Saw menulis surat kepada Abu Sufyan bin Harab, Walikota Mekah, meminta izin untuk mengunjungi Mekah guna melaksanakan ‘umrah. Untuk membuktikan bahwa kunjungan ini murni bermotif agama, tidak ada muatan politik dan motif perang yang terselubung, Rasulullah Saw menyatakan bahwa rombongan ini sudah memakai kain ihram sejak mereka keluar rumah, tidak membawa senjata dan perlengkapan perang. Walikota Mekah mengizinkan Rasulullah Saw bersama rombongan untuk mengunjungi Mekah dengan satu tujuan, menunaikan ibadan ‘umrah. Ketika Rasulullah Saw sampai di Hudaibiyah, batas kota Mekah, Abu Sufyan berubah pikiran. Walikota Mekah itu menolak Nabi dan rombongan untuk masuk ke kota Mekah. Setelah melewati keadaan yang tidak menentu dan diliputi ketegangan, karena rombongan Nabi tertahan beberapa hari di Hudaibiyah, serta beredarnya kabar burung bahwa Usman bin ‘Affan, utusan khusus Nabi untuk melobi Abu Sufran, terbunuh, akhirnya Walikota Mekah mengajukan proposal perjanjian yang terkenal dengan Perjanjian Hudaibiyah, karena ditanda-tangani di Hudaibiyah.

Substansi Perjanjian Hudaibiyah tersebut meliputi tiga masalah pokok sebagai berikut:

Pertama, Muhammad bersama rombongan ‘umrah yang sudah berada di pintu gerbang kota Mekah tidak diizinkan masuk kota Mekah hingga tahun berikutnya [tahun ke-7 Hijrah];
Kedua, orang-orang Muslim yang berdomisili di Mekah [belum mengikuti hijrah ke Madinah hingga ditanda-tanganinya perjanjian ini], jika menghadap kepada Muhammad di Madinah dan menyatakan keinginannya untuk hijrah, maka mereka harus ditolak dan dikembalikan ke Mekah dengan biaya sendiri tanpa jaminan keamanan.
Ketiga, jika orang-orang Muslim di Madinah [sahabat Muhajirin] menyatakan keinginannya untuk kembali ke Mekah, maka Muhammad tidak boleh melarang mereka, sebaliknya Muhammad harus mengembalikan mereka ke Mekah dengan biaya perjalanan ditanggung oleh Muhammad.

Rumusan perjanjian di atas secara keseluruhan merugikan pihak Rasulullah Saw dan kaum Muslimin. Para sahabat Nabi menolak rumusan perjanjian yang merugikan kaum Muslimin itu. Mereka marah, kesal dan kecewa terhadap Nabi karena beliau menyutujui butir-butir yang tercantum di dalam draf perjanjian tersebut dan beliau segera akan menanda-tanganinya. Kemarahan dan kekecewaan para sahabat itu bertambah, ketika delegasi Mekah yang mewakili Walikota menolak membubuhkan tandatangan sebelum beberapa kalimat pada naskah perjanjian itu dicoret. Delegasi Mekah itu keberatan karena di dalam nasakah perjanjian itu tertulis Muhammad Rasulullah. Tokoh musyrikin Mekah itu mengusulkan agar “Muhammad Rasulullah” diganti menjadi Muhammad bin Abdullah. Ia beralasan bahwa Pemerintah Kota Mekah bersama masyarakat Mekah tidak meyakini dan tidak mengakui Muhammad Rasulullah, mereka hanya mengenal dan mengakui Muhammad bin Abdullah. Menanggapi keberatan ini, Rasulullah Saw menerima dengan lapang dada, tanpa ada komentar dan tanda-tanda penolakan sedikit pun di wajah beliau. Beliau memerintahkan agar Muhammad Rasulullah pada naskah perjanjian itu dicoret dan diganti dengan Muhammad bin Abdullah seperti diusulkan pihak Mekah tersebut.

Akibat perjanjian Hudaibiyah yang merugikan kaum Muslimin ini, Rasulullah Saw bersama rombongan umrah harus menerima resiko dipermalukan dalam diplomasi hubungan antara negara. Mereka pun harus menunda pelaksanaan umrah, padahal mereka sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari dan sudah berada di di pintu gerbang kota Mekah. Peristiwa ini benar-benar menunjukkan arogansi Abu Sufyan bin Harab, padahal Rasulullah Saw sudah mengirimkan surat permohonan izin kepada Abu Sufyan untuk menunaikan ibadah umrah dan Walikota Mekah pun sudah mengizinkannya, tetapi Abu Sufyan secara sepihak mencabut izin itu dan mengubahnya dengan proposal perjanjian yang merugikan.

Perjanjian Hudaibiyah jika dilihat dengan kasat mata sangat merugikan kaum Muslimin, tetapi di balik butir-butir perjanjian yang pahit itu terdapat madu yang terasa manis yang membawa kebaikan dan kemenangan yang gemilang bagi perkembangan Islam dan kaum Muslimin.

Pertama, dengan penanda-tanganan perjanjian Hudaibiyah ini perang dingin yang terjadi di antara Madinah dan Mekah memasuki masa jeda sehingga Nabi memiliki waktu cukup untuk melakukan hubungan internasional dengan mengirimkan beberapa orang dusta besar ke berbagai negara di Timar Tengah.
Kedua, perihal butir kedua yang mengharuskan Nabi menolak Bani Khaza’ah, kaum Muslimin yang tetap tinggal di Mekah, ketika mereka menghadap kepada Nabi dan menyatakan kehendaknya untuk bergabung dengan saudara-saudaranya seiman di Madinah, ternyata ketentuan ini membawa manfaat yang tidak terduga bagi kaum Muslimin. [1] terbukti bahwa Nabi adalah seorang negarawan yang memiliki prinsip dan konsisten memegang teguh perjanjian, meskipun perjanjian itu terasa pahit bagi kaum Muslimin. [2] Bani Khaza’ah yang ditolak oleh Nabi dan tidak tahan menjadi kelompok minoritas tertindas terhadap kezaliman Pemerintah dan masyarakat Mekah akhirnya menjadi duri dalam daging bagi Pemerintah Kota Mekah pimpinan Abu Sufyan. Bani Khaza’ah sering membalas kezaliman pemerintah dengan mengganggu jalur perdagangan Pemerintah Kota Mekah. Kondisi ini menimbulkan ketidak-amanan bagi masyarakat Mekah sehingga sebagian mereka mengusulkan kepada pemerintah agar perjanjian Hudaibiyah ini dibatalkan saja.
Ketiga, perihal butir ketiga dalam Perjanjian Hudaibiyah yang di atas kertas merugikan kaum Muslimin, ternyata secara faktual tidak ada seorang pun di antara sahabat Muhajirin yang hendak kembali ke Mekah.

Dengan demikian, Nabi memiliki kecerdasan emosi dan spiritual yang luar biasa. Dengan kebiasaan melakukan ta’ammulat, kecerdasan intelek dan kecerdasan emosinya terlatih dengan tajam sehingga bisa mengalah sedemikan rupa dalam menerima proposal perjanjian Hudaibiyah, tetapi di balik itu semua terbuka lebar jalan menuju kemenagan Islam dan kaum Muslimin. Perjanian Hudaibiyah menjadi titik masuk untuk meraih Futuh Mekah pada tahun ke-8 Hijriah. Sebuah pelajaran yang sangat bermakna dari kearifan Rasulullah Saw. « []

* ] Dosen Tasawuf dan Tafsir al-Qur’an Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Karakter Kepemimpinan al-Khulafau al-Rasyidun: Menurut Said Nursi


Badiuzzaman Said Nursi, salah seorang mufasir asal Turki awal abad ke-20, dalam karyanya Risalah Nur (Al-Lama’at, Bab 6), menjelaskan makna ayat Surah al-Fath: 29, selain mengenai kerasulan Muhammad SAW, juga tentang karakteristik keempat sahabat beliau itu. Bagi Said Nursi, ayat tersebut dengan jelas memberitahukan kepada kita mengenai sifat istimewa dan akhlak mulia mereka. Juga bagi para ahli hakikat ayat ini menerangkan dengan makna isyari (implisit) urutan khalifah yang empat itu, yang akan menggantikan setelah Nabi SAW wafat. Lebih jauh lagi, ia mengemukakan sifat yang paling menonjol yang dimiliki oleh masing-masing mereka itu sehingga mereka wajar disebut sebagai al-Khulafa al-Rasyidun.

Ungkapan ayat: al-ladzina ma’ahu (setia bersama dengan Nabi SAW), menurut Said Nursi, mengarah kepada Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq RA, yang secara tanpa pamrih mendampingi beliau pada saat hijrah, dan menjadi sahabat setia beliau. Beliau pun dikenal sebagai tokoh yang getol mempertahankan kebenaran, sekalipun itu pahit. Beliau mengakui kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW (Muhammadun Rasulullah).

Kemudian sambungan ayat itu: asyiddau ‘alaa al-kuffar (keras terhadap orang-orang yang mengingkari kebenaran Islam), digambarkan sebagai perangai mulia Sayyidina Umar RA. Beliau dikenal sebagai halilintar atau macan padang pasir, karena beliau adalah figur yang sangat berwibawa dalam menegakkan keadilan melawan kaum zalim, tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat tegas dan teguh dalam pendirian.

Karena tingginya rasa kasih sayangnya kepada orang-orang beriman, sehingga gambaran al-Qur’an dengan ungkapan: ruhamau baynahum (kasih sayang terhadap sesama mereka), dianggap sangat sesuai dengan pribadi Sayyidina Usman RA. Beliau tidak rela bila terjadi pertumpahan darah di kalangan umat Islam ketika terjadi fitnah besar. Ia pun berjuang keras sampai titik darah penghabisan, agar umat Islam senantiasa bersatu padu.

Adapun Sayyidina Ali RA, al-Qur’an menggambarkannya dengan ungkapan: Tarahum rukka’an sujjadan yabtaghuna fadhlan min Allah wa ridhwana (kamu saksikan mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan ridha-Nya). Ungkapan ini menjelaskan kepribadian yang satu ini, bahwa meskipun sedang memangku tugas berat sebagai khalifah, beliau senatiasa ruku’ dan sujud di hadapan Khaliknya, yang menggambarkan betapa tingginya tingkat kezuhudannya dalam bribadah. Sekalipun kekuasaannya semakin meluas sampai Persia, beliau tetap hidup sangat sederhana. Beliau tidak bermewah-mewah. Memang beliau dikenal sebagai ahli ibadah yang luar biasa, selain kedalaman ilmunya yang juga diakui oleh banyak kalangan.

Dari penjelasan tersebut dapatlah kita memetik pelajaran berharga untuk kita sekarang ini bahwa ciri-ciri pemimpin yang ditunjukkan oleh al-Khulafau al-Rasyidun itu ada empat juga:

1. Pemimpin itu harus setia kepada kebenaran. Maksudnya, selain membenarkan ayat-ayat Allah SWT dan kerasulan Nabi SAW, seorang pemimpin juga haruslah selalu mempertahankan kebenaran (shiddiq).

2. Selain itu, seorang pemimpin dituntut untuk selalu tegas dan berani mengambil keputusan dengan penuh rasa keadilan (‘adil), serta menegakkannya dengan penuh keteguhan hati, tanpa rasa gamang dan keraguan;

3. Sifat lain pemimpin itu adalah memiliki rasa kasih sayang yang mendalam kepada umatnya, dan senantiasa membangun silaturrahim yang solid. Dia tidak ingin menjerumuskan bangsanya ke jurang kebingungan tanpa kepastian. Dia pun pemurah dan rela berkorban demi kepentingan rakyatnya, bukan sebaliknya: bersenang-senang di atas penderitaan rakyatnya;

4. Pemimpin itu, selain mesti senantiasa melayani rakyatnya dengan penuh dedikasi, hendaknya juga selalu rajin beribadah (ahli ibadah), sehingga tidak melupakan Tuhannya.

Bila seorang pemimpin memiliki empat sifat ini, maka Allah SWT akan selalu melindunginya dan senantiasa melimpah-ruahkan rahmat-Nya kepadanya dan bangsanya. Semoga pemimpin kita dapat selalu bercermin pada sifat-sifat mulia ini dalam setiap derap langkah kepemimpinannya.

*]Guru Besar Ilmu Komunikasi Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, dan Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Peranan Keluarga Dalam Islam


Hai orang-orang beriman ! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari [kemungkinan siksaan] api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah para malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Altahrim (66): 6).

Keluarga, yang biasa diartikan dengan ibu dan bapak beserta anak atau anak-anaknya; belakangan diartikan dengan semua dan setiap orang yang ada dalam sebuah keluarga/rumah tangga (lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tanggga, Pasal 2). Keluarga, dalam sistem hukum apapun dan di manapun, apalagi dalam perspektif hukum Islam, dipastikan memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tingkat manapun. Terutama di tingkat rukun tetangga (RT) yang daripadanya terhimpun rukun warga, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan seterusnya sampai masyarakat dunia. Tanpa keluarga, yang sejatinya menjadi unit terkecil dalam sebuah komunitas, mustahil ada apa yang dikenal dengan sistem sosial itu sendiri mulai dari sistem sosial yang sangat terbatas atau bahkan dibatasi; sampai komunitas yang bersekala nasional, regional dan intrenasional.

Sekedar untuk menunjukan arti penting keluarga, ada ungkapan yang menyatakan bahwa “Keluarga adalah tiang masyarakat dan sekaligus tiang negara; bahkan juga tiang agama.” Atas dasar ini, maka mudahlah difahami manakala agama Islam menaruh perhatian sangat serius terhadap perkara keluarga. Di antara indikatornya, dalam Al-qur’an dan atau Al-hadits, tidak hanya dijumpai sebutan keluarga dengan istilah “al-ahl” – jamaknya “al-ahluna,” atau “dzul qurba,” “al-aqarib” dan lainnya; akan tetapi, juga di dalamnya dijumpai sejumlah ayat dan bahkan surat Al-qur’an yang mengatur ihwal keluarga dan kekeluargaan.

Di antara surat yang menyimbolkan arti penting tentang peran keluarga dalam kehidupan sosial adalah surat ketiga, yakni surat Ali Imran (3) yang terdiri atas: 200 ayat, 3,460 kata dan 14,525 huruf. Secara umum dan garis besar, surat Ali Imran memuat perihal: keimanan, hukum, dan kisah di samping lain-lain. Yang menariknya lagi surat Ali Imran ini diiringi surat An-Nisa (4), yang mengisyaratkan arti penting bagi kedudukan seorang ibu khususnya dan kaum wanita pada umumnya dalam hal pembentukan dan pembinaan keluarga ideal yang disimbolkan dengan Keluarga Imran.

Masih dalam konteks peduli Al-qur’an terhadap peran keluarga, bisa difahami dari isi kandungan ayat 6 surat Al-tahrim yang telah dikutibkan sebelum ini. Ayat tersebut pada dasarnya mengingatkan semua kepala keluarga dalam hal ini Bapak dan atau Ibu bahkan para wali, supaya membangun, membina, memelihara dan atau melindungi semua dan setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungannya dari kemungkinan mara bahaya yang disimbolkan dengan siksaan api neraka. Sebab, dalam pandangan Islam, berkeluarga itu tidak hanya untuk sebatas dalam kehidupan duniawi; akan tetapi juga sampai ke kehidupan akhirat.

Indikator lain dari peduli Islam terhadap eksistensi dan peran keluarga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan ialah adanya hukum keluarga Islam yang secara spesifik mengatur persoalan-persoalan hukum keluarga mulai dari perkawinan, hadhanah (pengasuhan dan pendidikan anak), sampai kepada hukum kewarisan dan lain-lain yang lazim dikenal dengan sebutan “al-ahwal al-syakhshiyyah,” “ahkam al-usrah,” Islamic family law dan lainnya. Hukum Keluarga Islam benar-benar mengatur semua dan setiap urusan keluarga mulai dari hal-hal yang bersifat filosofis dan edukatif, sampai hal-hal yang bersifat akhlaqi yang teknis operasional sekalipun. Itulah sebabnya mengapa Islam memerintahkan pemeluknya agar selalu saling menyayangi dan bekerjasama antara sesama keluarga. Termasuk dalam hal mendoa. Amin !

Anak


Anak merupakan anugerah, amanah, sekaligus cobaan bagi orangtuanya. Sebagai anugerah dapat kita saksikan betapa bahagianya pasangan suami isteri saat kehadiran buah hati yang diidamkannya. Ketika anak menyambut ayah-ibunya di depan pintu sambil berteriak dengan manja, ‘ayah…ibu…pulang,’ lalu mengulurkan kedua tangannya untuk digendong, seketika itu juga penat ayah-ibunya hilang meski mereka telah bekerja seharian.

Subhanallah! Tapi, anak juga adalah amanah karena ia merupakan titipan Allah untuk dirawat, dibesarkan, dididik, sehingga menjadi mukallaf yang bertanggung jawab atas dirinya sebagai generasi andalan umat seperti diisyaratkan oleh Q.S. 4: 9. Bahkan, anak merupakan cobaan atau ‘fitnah’ (Q.S. 64:15) bagi orangtuanya, terutama karena ia menjadi ajang apakah mereka mampu bersabar meluangkan waktu, tenaga, dan menyediakan segala sesuatu yang diperlukan (sebagai ‘provider’) dalam rangka mendewasakan anak sesuai dengan kehendak Allah (mardhatillah) ataukah hanya terus berkeluh kesah.

Anak terlahir fitrah, membawa potensi-potensi yang siap dikembangkan oleh lingkungannya, terutama orangtua dan keluarga batih yang menjadi ‘sekolah pertama’-nya (al-umm madrasah al-ula, ibu adalah sekolah pertama). Sikap dan perilaku orangtua dan keluarga akan diimitasi oleh anak yang berada di bawah kepengasuhannya. Sulit dibantah bahwa seorang anak tumbuh dan berkembang sejalan dengan interaksinya dengan lingkungan dimana ia berada. Kurt Lewin, seorang psikolog, menyusun sebuah rumus tentang perilaku manusia sebagai berikut: B = f (P x E), dimana B adalah behavior (tingkah laku), f adalah fungsi, P adalah person (pribadi), dan E adalah environment (lingkungan). Dengan demikian, seperti teori convergensi, bahwa perpaduan potensi bawaan dengan bentukan lingkungan yang akan mempengaruhi hidup seorang anak hingga dewasa. Oleh karena itu, nilai-nilai harus ditanamkan sejak dini bahkan sejak anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Mempertontonkan bagaimana sebuah nilai dipraktekkan adalah cara terbaik, karena anak adalah imitator ulung. Apa pun yang dilihat dan didengar akan ditiru dalam kesempatan lain.

Perlu disadari bahwa anak adalah tetap anak, bukan orang dewasa dalam bentuk mini. Pengajaran nilai-nilai tidak boleh dalam bentuk paksaan, tetapi cukup dengan meneladankan, mempraktekkan, menyelipkan dalam dongeng atau cerita, menuntunkan, membiasakan dalam suasana yang menyenangkan. Sebab, manusia lahir tidak memiliki pengetahuan meskipun diberi berbagai potensi sejak lahir dan berbagai instrumen seperti pendengaran, penglihatan, dan pemahaman terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. (Q.S. 16:78)

Seperti halnya fisik yang tumbuh dan berkembang secara tertahap (latarkabunna thabaqan ‘an thabaq), nilai-nilai yang diinternalisasikan bertahap pada saatnya akan menjadi sikap hidup (karakter). Sejatinya, pembentukan karakter manusia terjadi secara bertahap hingga sekitar usia dua puluh satu tahun melalui tiga tahap proses. Pertama, compliance, yaitu tahap pembiasaan dan peneladanan terhadap nilai-nilai kebaikan yang diharapkan dapat menjadi sikap hidupnya kelak. Kedua, identifikasi, tahap ini terjadi ketika anak sudah mampu mengidentifikasi dirinya dengan nilai yang diharapkan. Ketika anak mengatakan ‘ih…jorok’ saat melihat rumah berantakan penuh dengan tumpahan sisa makanan dan atau minuman. Ketiga, tahap kristalisasi, yaitu pada saat anak sudah menjadikan nilai-nilai yang diajarkan padanya sebagai perilakunya sehari-hari. Ia sudah setia membuang bungkusan permen ke tempat sampah, setia mengucap salam ketika masuk ke dalam rumah untuk bertamu dan bertemu dengan sahabatnya, dsb.

Setiap kali anak menunjukkan kemajuan atau menampilkan sebuah nilai yang diharapkan ia berhak dan harus mendapat apresiasi; dengan begitu ia mempeoleh peneguhan (reinforcement) terhadap kebaikan yang dilakukannya. Lebih baik memberi penghargaan daripada mencela atau menghukum. Mendahulukan reward (targib, ganjaran, apresiasi) daripada punishment (tarhib, hukuman) adalah hal terbaik bagi anak. Bukankah Allah telah mengajari kita untuk senantiasa memberi apresiasi pada setiap kebaikan? Kata Allah dalam sebuah hadis qudsi: Inna rahmati sabaqat gadhabi, atau, inna rahmati galabat gadhabi (Sungguh rahmat-Ku selalu mendahului amarah-Ku, atau, sungguh kasih sayang-Ku mengalahkan amarah-Ku). Mengapa pula banyak orang tua yang selalu mencela anaknya setiap saat? Bahkan, menurut Jack Canfield, frekuensi orangtua mencela dan berkomentar negatif kepada anaknya 460 kali daripada memberi pujian dan berkomentar positif yang hanya rata-rata 75 kali perhari. Di kalangan masyarakat kita bahkan masih banyak orang tua melakukan kekerasan kepada anaknya. Berbagai ayat Al-Qur’an menuntun kita untuk berkomunikasi dengan tutur kata yang lemah lembut, benar dan jujur, santun, memberi instruksi dengan kata yang terukur, meskipun saat tertentu dituntut pula berkata tegas jika diperlukan. Al-Qur’an menggunakan beberapa ungkapan misalnya: qaulan layyinan – tutur kata lemah lembut (Q.S. 20:44), qaulan kariman – mulia (Q.S. 17:33), qaulan ma’rufan – dikenal (Q.S. 2:230), qaulan sadidan – benar (Q.S.4:9,33:70), qaulan baligan – jelas (Q.S. 4:63), qaulan maisuran – pantas, terukur (Q.S. 17:28), qaulan tsaqilan – tegas (Q.S. 73:5). Wallahu a’lam. (M. Darwis Hude)
*] Guru Besar Ilmu Pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an [PTIQ] Jakarta

Persiapan Fisik Puasa Saat Cuaca Ekstrim


Allah SWT berfirman : ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS.2:183). Umat Muslim dewasa wajib puasa Ramadhan yaitu menahan diri dari memenuhi keinginan alamiah manusia makan dan minum serta menekan godaan lain mulai matahari terbit sampai matahari terbenam.

Puasa Ramadhan tahun 2010 jatuh pada Agustus-September saat kemarau dan panas. Oleh karena itu, pengaruh puasa Ramadhan sangat kompleks yaitu asupan makanan kurang, kebutuhan energi dan zat gizi meningkat, serta dehidrasi.

Puasa Ramadhan mengubah pola makan. Jumlah dan jenis makanan yang dimakan berbeda. Konsumsi air minum sedikit, secara fungsional bisa dipantau dengan memeriksa konsentrasi air kencing.

Selama puasa Ramadhan, frekuensi makan sedikit menyebabkan asupan energi, karbohidrat, lemak, protein kurang. Namun beberapa peneliti mendapatkan asupan energi, karbohidrat, lemak dan protein selama puasa Ramadhan meningkat.

Konsumsi air minum sedikit dan tingginya pengeluaran air karena musim kemarau dan panas selama puasa Ramadhan dapat meningkatkan risiko dehidrasi. Namun, penelitian menunjukkan puasa Ramadhan musim panas dengan aktivitas biasa, cairan tubuh dipertahankan normal walaupun water turnover rate berkurang.

Puasa Ramadhan tidak secara dramatis memengaruhi metabolism lemak, karbohidrat dan protein. Perubahan justru terjadi peningkatan HDL-kolesterol dan apoprotein A1, serta penurunan LDL-kolesterol yang bermanfaat menurunkan risiko penyakit jantung.

Puasa Ramadhan bisa mencegah penuaan yaitu menghambat penurunan Brain-derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF bertanggung jawab terhadap kehidupan dan pertumbuhan sel otak untuk proses memori dan belajar.

Oleh karena itu, puasa Ramadhan memerlukan persiapan fisik lebih prima. Rosulullah SAW menganjurkan agar puasa Ramadhan tidak menyebabkan gangguan fisiologis. Rosulullah SAW membiasakan diri melatih fisik dan mental dengan melakukan puasa sunnah di bulan Sya’ban,

Persiapan fisik yang baik untuk menghadapi puasa Ramadhan saat cuaca ekstrim yaitu mengonsumsi makanan alamiah, gizi seimbang, beragam dan bervariasi sesuai kebutuhan. Makanan alamiah, gizi seimbang harus mengandung karbohidrat, lemak dan protein secara proporsional ditambah mineral, vitamin, serat dan air sesuai kebutuhan.

Saat makan buka puasa maghrib (breaking of the fast), kita minum air putih atau teh tawar dan mengonsumsi buah segar. Setelah shalat maghrib, kita mengonsumsi makanan pokok nasi atau roti gandum ditambah protein hewani seperti ikan, ayam, daging, protein nabati seperti tahu, tempe, kacang merah, dan sayuran.

Selesai shalat tarawih, kita minum air putih atau teh tawar sedikit-sedikit dan sering sehingga jumlahnya banyak. Makanan kecil, snack, kolak coklat, keripik, kerupuk, kacang, sirup, jus, teh manis ataupun minuman ringan lainnya dihindari.

Saat makan sahur (pre-dawn meal), kita minum susu rendah lemak sebelum shalat sunnah malam. Kita mengonsumsi makanan pokok nasi atau roti gandum ditambah lauk pauk hewani, lauk pauk nabati dan sayuran, serta buah-buahan.

Persiapan fisik lain menghadapi puasa Ramadhan saat cuaca ekstrim adalah olahraga kesegaran jasmani sesuai kondisi tubuh. Kita bisa melakukan olahraga jalan kaki, 4-5 kali seminggu selama satu jam, pagi setelah shalat subuh atau sore saat mendekati waktu buka puasa.

Jadi secara umum, puasa Ramadhan tidak menyebabkan gangguan kesehatan, di lain pihak puasa Ramadhan mempunyai keuntungan untuk tubuh.

“Puasa…puasa sebulan penuh puasa…, puasa, puasa sebetulnya menyehatkan…” Sepenggal lagu yang kerap dikumandangkan Bimbo saat puasa Ramadhan tiba ternyata memang benar adanya.


dr. Dadang Arief Primana, MSc, SpKO, SpGK
(Dosen, Dokter Specialis Gizi Klinik dan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga).

Serba Serbi Puasa Menurut Arazi


Puasa baru tiga hari, tapi kok rasanya lama sekali ya? Sebetulnya sih asyik juga ya ternyata berpuasa. Apalagi dua hari kemarin aku berhasil lho puasa sampai magrib. Ibu sampai bilang, ‘Wah anakku sudah besar ya. Sudah bisa puasa penuh. Coba terus ya nak!’ Aku jadi semangat kepingin terus puasa penuh seperti kemarin-kemarin.

Tapi kemarin aku dibilangin lho sama mbak Siti. Abis aku kan lapar, jadi bawaannya aku kepingin ngomel aja. Eh mbak Siti bilang, ‘Arazi kan lagi puasa. Puasa itu nggak cuma nahan makan dan minum saja lho. Tapi juga nggak boleh ngomel-ngomel, nggak boleh nangis, nggak boleh marah-marah. Semua keinginan yang jelek-jelek seperti itu juga harus ditahan.’

Duh, ternyata puasa itu nggak gampang ya…! Semua yang jelek-jelek harus ditahan. Ibu juga bilang bahwa waktu puasa kita juga nggak boleh ngomongin orang, nggak boleh nakalin adik, nggak boleh jahat sama teman. Banyak sekali ya nggak bolehnya. Susah banget untu anak kecil seperti aku ingat apa yang boleh dan nggak boleh.

Mmm, tapi kalau nggak boleh ngomongin orang kok mbak Siti kemarin ngomongin tukang gado-gado sama mbak Sinah ya? Aku nggak tahu ngomongin apa, aku nggak dengar semua. Tapi ngomongnya kok sampai mulutnya dimonyong-monyongin gitu, itu kan pasti ngomongin jelek. Terus kalau nggak boleh ngomongin orang, ibu juga sering nonton sinetron. Di sinetron itu ada orang yang suka jelek-jelekin temannya. Kalau nonton orang jelek-jelekin orang lain boleh enggak ya?

Yang juga susah buat aku tuh aku nggak boleh gangguin dik Nesya. Duh aku gemes banget deh sama si buntelan ompol itu. Apalagi kalau dia sok makan yang enak-enak di depan aku. Makannya dilama-lamain, sepertinya enak banget cara dia nggigit ayam kremes kemarin…huuu! Rasanya kepingin narik rambutnya yang kriting itu deh. Tapi belum aku apa-apain dia pasti udah ngadu deh sama mbak Siti. Belum apa-apa aku pasti udah dipelototin sama mbak Siti.

Ih mbak Siti gimana sih. Puasa-puasa kok marah-marah sama aku juga. Tapi ternyata mbak Siti nggak marah. Dia cuma bilang kalau aku harus sabar sama adik yang nakal selama puasa. Puasa itu ternyata juga harus sabar menghadapi hal-hal yang nyebelin kayak gitu. Kita juga harus sabar menunggu waktu berbuka puasa. Wah mbak Siti sekarang sebentar-sebentar bilang, ‘Eit, Arazi harus sabar ya. Ini puasa!’ sambil jari telunjuknya dinaikin ke atas.

Ya, walaupun aku suka sebel sama mbak Siti. Apalagi kalau diam-diam dia dengerin lagu dangdut pakai radio ayah. Tapi sebetulnya mbak Siti baik juga kok. Dia yang jagain aku dan dik Nesya kalau ayah kerja dan ibu lagi pergi keluar seperti hari ini. Mbak Siti juga suka ingatkan aku untuk shalat. Aku suka lupa shalat ashar, soalnya kalau puasa begini rasanya jadi ngantuk banget waktu ashar. Untungnya sekolahku masih libur seminggu di awal puasa, jadi aku bisa tidur sepuas-puasnya.

Senangnya pas puasa begini ayah dan ibu pulang selalu cepat. Sebelum buka mereka berdua pasti sudah ada di rumah. Ayah atau ibu selalu bawa makanan berbuka yang enak-enak dan meminta aku untuk memilih duluan sebelum dipilih sama dik Nesya. Soalnya aku sudah bisa berpuasa penuh, jadi aku boleh pilih makanan duluan. Asyik, aku bisa lihat mukanya dik Nesya kayaknya sebel banget sama aku. Setelah berbuka biasanya ayah memimpin shalat magrib bersama-sama.

Hmm, seru juga ya kalau lagi puasa begini. Kita jadi ngumpul terus sekeluarga. Puasa emang susah sih, tapi aku jadi senang kalau lagi puasa begini. Ayah dan ibu jadi nggak sering pergi-pergi. Ibu juga jadi sering bacain cerita nabi-nabi untuk aku dan dik Nesya. Kita juga jadi sering shalat tarawih sama-sama di masjid kompleks. Aku jadi suka deh sekarang sama puasa.

Boks:

Hal-hal yang dapat diperkenalkan atau dicontohkan pada anak selama puasa, antara lain:

* Belajar sabar, minimal menunggu waktu bedug berbuka puasa dibunyikan. Mintalah mereka membaca doa terlebih dahulu sebelum menyerbu hidangan.
* Menjaga perilaku agar tidak marah-marah atau menjahili teman dan saudaranya.
* Belajar disiplin, minimal menjaga keinginan untuk makan atau minum sebelum waktu berbuka.
* Belajar mengendalikan emosi, tidak mudah merasa kesal atau rewel jika sedang berpuasa.
* Berempati pada orang yang hidupnya berkesusahan.
* Meningkatkan pengetahuan akan Islam, misalnya dengan sering membacakan dongeng-dongeng mengenai nabi, mengajaknya shalat tarawih berjamaah dan sebagainya.

Puasa Sebagai Madrasah Pengendalian Diri


“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang betakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183).

Berdasarkan ayat tersebut, jelas sekali arti dari pada puasa itu, bukan hanya sekedar menahan dari makan, minum, dan hal-hal yang dapat membatalkan puasa, tetapi memunyai tujuan lebih penting dari itu yaitu membentuk manusia bertakwa. Peningkatan ketakwaan merupakan buah dari puasa. Jika takwa itu diartikan sebagai pengendalian diri, upaya melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. dan menjauhi segala larangan-Nya, maka posisi puasa itu sebagai madrasah dan sarana pelatihan pengendalian diri dan upaya – upaya untuk selalu meningkatkan amal – amal saleh.

Banyak hadits yang mengindikasikan bahwa esensi puasa terletak pada pengendaliannya (nilai peningkatan takwanya). Di antaranya:
“Barang siapa berpuasa Ramdlan karena iman dan selalu memperhitungkan segala tindakannya (karena ia sedang puasa), maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu”. (HR. Bukahri-Muslim.)
“Bukanlah puasa itu hanya dari makan dam minum, tetapi puasa itu menahan dari perkataan kotor / tidak bernmanfaat dan caci maki”. HR. Ibu Khuzaimah.
“Puasa itu perisai selagi ia belum dirobek oleh dusta dan mengumpat”. (HR. Ibnu Hazm).

Ini bisa berarti, seseorang bisa saja melakukan ibadah puasa dan dia sanggup mematuhi seluruh ketentuan fiqih. Akan tetapi, dia tidak sanggup mewujudkan pesan moral yang ada dalam ibadah puasa itu. Maka dia itu digolongkan oleh Rasul sebagai orang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga saja.

Dalam suatu hadits diriwayatkan bahwa pada bulan Ramadhan ada seorang wanita sedang mencaci maki pembantunya. Dan Rasulullah mendengarnya. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil perempuan itu. “Lalu Rasulullah saw. bersabda “Makanlah makanan ini”. Perempuan itu menjawab, “Saya sedang berpuasa ya Rasulullah.” Kemudian Rasul menjawab, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesugguhnya puasa itu adalah sebagai perisai bagi kamu untuk tidak melakukan perbuatan tercela. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.

Ketika Rasulullah mengatakan, betapa sedikitnya yang berpuasa dan betapa banyaknya yang kelaparan, hal itu menunjukan, kebanyakan masyarakat hanya berpuasa untuk menahan makan dan minum saja, tetapi tidak sanggup melakukan pesan moral ibadah itu. Dengan kata lain, puasanya itu tidak berdampak pada prilakunya sehari-hari. Padahal pesan moral itulah yang sangat penting dalam Islam. Mengapa demikian, karena kedatangan Rasulullah saw. diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia. Oleh karenanya, seluruh ajaran Islam diarahkan untuk menyempurnakan akhlak termasuk ibadah puasa.

Tegasnya, esensi puasa dalam Islam terletak pada pengejewantahannya dalam kehidupan sosial dan diwujudkan dalam perubahan sikap dan perilaku yang lebih baik, terutama terhadap Allah maupun terhadap umat-Nya. Wa Allahu a’lam bishawwâb.

Ibadahnya Sang Ratu Cinta


Cinta adalah bahasa yang indah. Setiap saat, selalu saja ingin bersama orang yang kita cintai; memujinya dan mengaguminya. Cinta juga bisa menjadi alasan bagi seorang hamba untuk beribadah kepada Tuhannya.

Seperti cinta Rabiah al-Adawiyah kepada Allah, Tuhannya. Meski Allah telah menyediakan banyak pahala kepada hamba-Nya, ibadah Rabiah tidak untuk itu. Tidak juga karena mengharap surga atau takut neraka. Suatu saat ia berdoa, "Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku."

Rabiah, Sang Ratu Cinta, seorang sufi perempuan dari Bashrah, terlahir dalam keluarga yang sangat miskin, meski saat itu Bashrah sedang bergelimang kemakmuran. Saat sang ibu berjuang melahirkannya, tak seorangpun menolong, sementara ayahnya sedang berusaha mencari bantuan kepada tetangga-tetangganya. Malam sudah larut, para tetangga sudah terlelap. Ayahnya pulang tanpa hasil. Sebenarnya, ayahnya hanya ingin meminjam pelita untuk menerangi istrinya. Kelahiran Rabiah tak mengubah nasib keluarganya. Sekuat tenaga ayahnya berusaha dan memasrahkan semua kepada yang Mencipta Kehidupan.

Saat kesulitan melanda Bashrah, karena dilanda bencana kelaparan, keluarga Rabiah tetap saja menjadi sasaran kekisruhan. Seorang penjahat menculik Rabiah, kemudian dijual di pasar budak dengan harga yang murah. Seorang saudagar membeli dan memberinya pekerjaan yang berat.

Tetapi justru karena penderitaan-penderitaan itu membuatnya mendekat pada Allah. Dalam kesibukannya bekerja, ia tetap menjalankan puasa. Di malam hari, ia menghabiskan waktu dengan banyak ber-mujahadah kepada-Nya. Hingga sampai suatu tingkat, ibadahnya membawa kedekatan dengan Allah. Kedekatan kemudian berubah menjadi kerinduan yang mengantarkan kepada cinta kepada-Nya. "Aku adalah milik-Nya. Aku hidup di bawah naungan-Nya. Aku lepaskan segala sesuatu yang telah kuperoleh kepada-Nya. Aku telah mengenal-Nya, sebab aku menghayati."

Di suatu malam yang senyap, dalam kerinduan yang sangat, ia bersujud dan berdoa, "Ya Allah, apapun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu. Dan apapun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti, berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu. Karena Engkau sendiri cukuplah bagiku." (imam – ilustrasi: viky)

(Artikel ini merupakan kerjasama dengan www.alifmagz.com)