Kamis, 21 Oktober 2010
Memilih Buku Bergizi untuk Anak
Buku bergizi berbeda dengan buku yang menarik. Sekedar menarik saja tidak cukup sebagai alasan untuk memilih buat anak kita
Aku Bisa Pakai Kaos Kaki Sendiri. Begitu judul salah satu buku kesukaan anak saya –yang sekarang sudah tidak berbentuk lagi. Buku itu saya beli sewaktu jalan-jalan dengan anak saya yang ketiga, Muhammad Hibatillah Hasanin. Di rumah, kami memang biasa menjadikan toko buku sebagai tempat jalan-jalan, tujuan rekreasi, dan sekaligus sebagai hadiah terindah bagi anak-anak. Meskipun kadang saya harus belajar menahan diri untuk tidak membeli setiap buku yang menarik, tetapi toko buku tetap menjadi tempat rekreasi terindah.
Kalau ada buku bagus seperti itu, biasanya mereka minta ibunya membacakan. Kadang lampu sudah dimatikan pun mereka masih bersemangat minta dibacakan buku. Sekarang yang lagi semangat-semangatnya membaca adalah Muhammad Nashiruddin An-Nadwi, anak keempat kami yang usianya dua tahun satu bulan. Kadang-kadang bingung juga menghadapinya. Mata sudah mengantuk, lampu sudah dimatikan, tetapi Owi –begitu kami biasa memanggil—masih saja minta dibacakan buku. Apalagi kalau kakaknya turut serta minta dibacakan. Untunglah si sulung, Fathimah, sudah bisa mengajari adik-adiknya sekarang. Sering kalau ada buku bagus, Fathimah yang membacakan buku untuk adik-adiknya. Atau kadang Fathimah membaca buku untuk dirinya sendiri, kemudian adiknya datang ikut nimbrung mendengarkan.
Alhamdulillah, Fathimah sudah lancar membaca semenjak ia masih belajar di Taman Kanak-kanak. Tepatnya di TKIT Salman Al-Farisi Warungboto, Yogyakarta. Sekarang usianya tepat enam tahun, duduk di kelas satu SDIT Salman Al-Farisi Klebengan, Yogyakarta. Banyak buku yang ia sukai. Salah satunya adalah seri Ensiklopedi Bocah Muslim. Buku ini merupakan salah satu favorit anak-anak. Saking favoritnya, seri 15 Ensiklopedi Bocah Muslim sudah rusak. Padahal kami beli belum terlalu lama. Owi rupanya memanfaatkan ensiklopedi ini sebagai buku mewarnai. Sementara ia biasa menggoreskan crayon dengan kekuatan penuh.
Ada cerita tersendiri tentang Ensiklopedi Bocah Muslim ini. Sebelum beredar, saya sudah mendengar kabar dari Mas Ali Muakhir –editor di penerbit DAR! Mizan yang menerbitkan ensiklopedi tersebut. Waktu itu saya sedang berada di Bandung. Begitu pulang ke Yogya, saya ceritakan kabar dari Mas Ali ini kepada istri saya maupun kepada Fathimah dan adik-adiknya. Antusias sekali mereka. Apalagi ketika saya mendapat undangan peluncuran buku ini di Jakarta. Meskipun saya tidak bisa hadir, tetapi gambar di kartu undangan telah merangsang rasa ingin tahu mereka.
Bulan Maret 2004, ada Islamic Book Fair di Yogyakarta. Salah satu stand menjual ensiklopedi tersebut. Segera saja kami berunding. Fathimah punya celengan uang receh di rumah. Adik-adiknya punya celengan juga. Mereka berunding dan sepakat memecah semua celengan mereka. Terkumpullah uang yang membuat mata mereka berbinar-binar. “Wow, Pak. Banyak sekali!” kata Husain, anak saya yang kedua. Tapi uang sejumlah itu tetap masih kurang. Oh, ada tabungan Fathimah di sekolah. Kalau diambil mungkin mencukupi.
Esoknya tabungan itu diambil dan ternyata masih belum cukup. Lalu Fathimah berkata, “Ibu, bagaimana? Aku kepingin beli ensiklopedi.” Lalu Fathimah dan ibunya berbicara dengan saya, minta supaya ditambah dengan uang saya. Alhamdulillah, ada rezeki. Bisa buat menutupi kekurangan. Ensiklopedi pun kami beli saat itu (Fathim, alhamdulillah ya, Nak. Kita punya sesuatu yang lebih baik daripada TV. Ensiklopedi harganya lebih mahal, lho daripada TV).
Kembali ke soal buku Aku Bisa Pakai Kaos Kaki Sendiri. Hasanin segera saja memperoleh kegembiraan tersendiri ketika buku itu dibacakan ibunya. Saudara-saudaranya ikut serta. Mereka berkumpul melingkar, mengitari kaki ibunya. Mereka terpingkal-pingkal mendengar cerita tentang kaos kaki yang dipakai terbalik. Mereka bergembira. Dan yang lebih menggembirakan saya, Husain dan Hasanin bersemangat pakai kaos kaki sendiri. Tapi di rumah, anak laki-laki tidak biasa pakai kaos kaki–sebagaimana saya sendiri tidak biasa memakainya. Mereka kemudian belajar pakai celana sendiri dan baju sendiri–ketika itu usia Hasanin belum mencapai tiga tahun. Dan uff… jatuh. Dua kaki masuk satu lubang. Tentu saja sulit bergerak. Dan karena tidak seimbang, segera saja Hasanin terjatuh. Dan lihat apa yang terjadi dengan kakaknya? Rupanya Husain juga demikian. Jadilah mereka saling tertawa.
O ya, masih ada buku lain yang kami beli pada kesempatan berikutnya. Aku Berani Minum Obat. Buku tipis ini memberi manfaat yang besar. Saya tidak tahu pasti apakah anak saya terpengaruh oleh buku ini atau terpengaruh oleh cara ibunya meminumkan obat yang cerdas dan menarik. Yang jelas kami syukuri, Owi sangat mudah diminumi obat. Sejak usianya belum satu setengah tahun, ia begitu mudah menerima obat yang disodorkan kepadanya. Kalau pahit? Ia akan segera meminta segelas teh.
Banyak pengalaman menarik dari kegiatan sehari-hari bergaul dengan buku. Membaca buku Aku Sayang Adik (DAR! Mizan), Fathimah menjadi lebih sayang dengan adik-adiknya. Fathimah suka menggendong adiknya, mengajaknya bermain, dan mendiamkannya apabila menangis.
Ada buku-buku lain yang mengesankan. Tetapi pada kesempatan kali ini, biarlah saya mencukupkan cerita saya sampai di sini. Ada yang lebih penting untuk saya sampaikan. Mengingat begitu kuatnya pengaruh buku –lebih-lebih pada masa kanak-kanak—maka penting sekali kita perhatikan nilai gizi buku untuk anak-anak kita. Ibarat makanan, kandungan gizi buku sangat memengaruhi cara berpikir, bersikap, dan bertindak anak. Inilah yang sangat perlu kita perhatikan mengingat usia-usia mereka merupakan masa paling strategis untuk membangun fondasi kepribadian, termasuk di dalamnya fondasi paradigma berpikir, bersikap dan bertindak. Pada masa-masa ini pula kepekaan emosi anak sangat efektif untuk diasah atau justru ditumpulkan.
Kalau David Shenk menggambarkan sebagian besar informasi yang beredar di era informasi sekarang ini sebagai kotoran dan buangan seperti tercermin dalam judul bukunya Data Smog (Kotoran Data); dan kotoran itu menyebabkan kita mengalami brain meltdown (penurunan kemampuan otak), maka bagaimana lagi jika anak-anak yang–ibarat komputer—operating system-nya belum terbangun kokoh? Sama seperti bayi yang perlu dilindungi dengan memberi makanan terbaik berupa ASI, anak-anak kita yang masih lucu-lucunya itu juga perlu kita lindungi kesehatan pikiran dan mentalnya dengan hanya memberi bacaan-bacaan bergizi. Melalui bacaan-bacaan bergizi tersebut, mereka akan memiliki kekuatan yang kokoh, imunitas yang tangguh dan rangsangan berpikir maupun mental yang kaya.
Buku bergizi berbeda dengan buku yang menarik. Sekedar menarik saja tidak cukup sebagai alasan untuk memilih buat anak kita. Tetapi buku bergizi yang tidak menarik, sulit membuat anak bergairah membacanya, kecuali kalau orangtua menunjukkan antusiasmenya yang besar atau anak memang sudah gila membaca. Pada sebagian buku yang benar-benar bergizi, baik tulisan maupun ilustrasi benar-benar merangsang pikiran, perasaan dan imajinasi anak.
Menimbang Gizi Buku Anak
Bincang soal buku bergizi, apa saja sih yang menentukan gizi sebuah buku, wa bil khusus buku anak-anak? Beberapa catatan berikut, mudah-mudahan bermanfaat.
Kita bicara secara ringkas saja tentang gizi buku buat anak-anak kita. Pertama, kita perhatikan kesesuaian buku dengan anak. Sue Bredekamp sangat menekankan aspek kesesuaian ini untuk memperoleh keberhasilan yang maksimal. Anak benar-benar menyerap manfaat yang besar tanpa harus merasa terbebani. Kesesuaian (appropriateness) itu mencakup kesesuaian usia dan kesesuaian individual. Saya tidak hendak mendiskusikan terlalu jauh tentang kesesuaian individual ini. Saya hanya ingin menekankan bahwa setiap buku anak, seharusnya sesuai dengan tahap perkembangan di usia yang menjadi bidikan buku tersebut. Tampaknya, masih banyak penerbit yang belum mampu membidik umur sasaran dengan baik. Bayangkan, ada buku anak yang ditujukan untuk anak TK hingga SD kelas enam. Ini luar biasa (luar biasa mengherankan!). Padahal karakteristik perkembangan di rentang usia itu sangat beragam dan benar-benar berbeda.
Kedua, daya rangsang buku untuk memantik gagasan-gagasan segar pada anak, baik yang secara langsung ditulis atau pun tidak. Sering saya jumpai buku-buku anak yang pesan permukaannya (surface message) bagus, tetapi di dalamnya (inner message) buruk. Sekilas isinya bergizi, tetapi tanpa disadari –kadang penulisnya pun tak sadar-- memantik gagasan buruk pada anak (inspiring bad).
(Hidayatullah.com)
Ketiga, kekuatan gagasan dan alur cerita. Ilustrasi yang bagus akan sangat menunjang kuatnya alur yang diciptakan penulisnya. Gagasan yang kuat dan memiliki pijakan yang mampu membangun visi anak, akan lebih bertenaga apabila disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan hidup. Kekuatan bahasa inilah pertimbangan keempat dalam menakar gizi buku anak.