Sabtu, 14 Agustus 2010
Menggali dan Meneladani Kearifan Nabi Muhammad Saw
Oleh Dr. Asep Usman Ismail, MA. *]
Al-Qur’an menginformasikan bahwa Nabi Muhammad Saw itu merupakan teladan agung bagi umat manusia. “Sungguh, telah ada pada [diri] Rasulullah Saw itu suri teladan yang baik bagi kamu sekalian [kaum beriman], yaitu bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” [QS al-Ahzab [33]: 21]. Keteladan Rasulullah Saw itu tidak hanya terbatas sejak beliau diangkat menjadi nabi dan rasul, tetapi juga sejak beliau dilahirkan hingga beliau wafat. Seluruh perjalanan hidup dan perjuangan beliau menjadi uswah hasanah, teladan yang baik, bagi umat manusia.
Dalam istilah agama perjalanan hidup dan perjuangan beliau dinamakan al-sunnah. Secara kebahasaan, perkataan sunnah berarti kebiasaan atau tradisi, namun dalam istilah agama sunnah adalah apa yang menjadi kebiasaan Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau tentang suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, baik sejak diangkat menjadi nabi dan rasul maupun sebelumnya. Singkatnya. sunnah adalah sîrah atau perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw sejak lahir hingga wafat yang keseluruhannya merupakan uswah, teladan agung, bagi umat manusia.
Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara singkat model-model uswah, keteladanan, dan kearifan Rasulullah Saw dalam kehidupan beliau, baik ketika remaja maupun sesudah menjadi nabi dan rasul dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan pemerintahan di Madinah.
Pertama, Memiliki Kebiasaan Ta’ammulât yang Kuat
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, meskipun terlahir sebagai yatim dan harus kehilangan ibunda tercinta ketika berusia 4 tahun, beliau tumbuh sebagai remaja yang cerdas [fathânah], jujur dan dapat dipercaya [amânah], serta benar [shiddîq] dalam ucapan dan perbuatan. Ketiga sifat terpuji yang melekat pada pribadi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib ini kemudian ketika diangkat menjadi nabi dan rasul terpadu secara simfoni dengan sifat tablîgh [menyampaikan pesan, misi, atau risalah] yang diwahyukan Allah kepada beliau. Keempat sifat ini merupakan sifat yang wajib, harus ada secara rasional, pada diri seorang nabi dan rasul guna menopang kompetensi beliau sebagai utusan Allah. Menurut para penulis sîrah [biografi] beliau, seperti Muhammad Husain Haikal, rahasia sukses Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib tidak hanya ditentukan oleh empat sifat yang menjadi kredibilitas seorang nabi dan rasul tersebut, tetapi juga karena beliau sejak remaja sudah memiliki kebiasaan ta’ammulât, mengamati, memikirkan, dan merenungkan keadaan sekitar, baik keadaan alam, geografi, sosial, politik, maupun kebudayaan, termasuk adat istiadat masyarakat Arab pada waktu itu.
Hasil dari proses ta’ammulât yang dilakukan secara tekun dan teliti itu mengantarkan Muhahammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib menjadi remaja yang memiliki talenta yang gemilang, antara lain seperti:
1. Kepekaan dan responsif terhadap berbagai masalah sosial dan kemanusiaan yang terjadi di Mekah dan sekitarnya. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau terlibat aktif dalam Persekutuan Hilful Fudhul, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam masalah kemanusiaan. LSM ini berdiri dengan dilatarbelakangi kasus seorang petani kecil dari Bani Zubaid yang menjual hasil pertanian kepada seorang konglomerat di Mekah bernama Ashi bin Wail as-Sahmi. Petani itu terus mengirimkan berbagai komoditas kepada pedagang besar di Mekah itu, tetapi Ashi bin Wail as-Sahmi tidak mau membayarnya. Petani kecil yang dizalimi itu kemudian berdiri di muka Ka’bah, lalu menyampaikan keprihatinannya di depan publik yang biasa berkumpul di sekitar tempat suci itu. Keluhan petani ini direspon oleh Zubair bin Abdul Muthalib dengan mengajak beberapa pemuka Quraisy untuk mendirikan sebuah LSM yang diberi nama Hilful Fudhul [Sumpah Setia untuk Kebajikan/Kemanusiaan]. Di antara pemuka Quraisy yang menjadi penggagas LSM kemanusiaan ini berasal dari Bani Hasyim, Bani Al-Muthalib, Bani Asad bin Abdul ‘Uzza, dan Bani Ta’im bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman Abdullah bin Ja’dan untuk mendeklarasikan berdirinya Hilful Fudhul yang bertujuan: [1] Memerangi kezaliman yang dilakukan oleh siapa pun kepada siapa saja di kota Mekah; [2] Menegakkan keadilan dan menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan yang telah punah di kota Mekah dan Jazirah Arabia pada umumnya. Perihal keterlibatan Rasulullah Saw di dalam gerakan Hilful Fudhul ini, beliau menjelaskan: “Ketika itu bersama para pamanku, aku terlibat aktif dalam pendirian Hilful Fudhul di rumah Abdullah bin Jad’an, dan turut berkiprah dalam perjuangan Hilful Fudhul guna mewujudkan cita-citanya yang mulia. Seandainya setelah Islam datang aku diajak mengadakan persekutuan serupa itu, pasti kusambut dengan baik.”
2. Kreatif, inovatif, dan cerdas dalam mencari berbagai solusi guna menghindari konflik di kalangan tokoh Quraisy yang hampir menyulut pertengkaran dan perang dengan mewujudkan perdamaian yang bermartabat. Diriwayatkan bahwa para pemuka Quraisy dari berbagai kabilah besar di Mekah sedang berselisih pendapat tentang siapa yang paling berhak untuk mengembalikan Hajar Aswad pada posisinya yang tepat di dalam Ka’bah. Tugas mengembalikan Hajar Aswad ke dalam posisinya di Ka’bah, bagi masyarakat Mekah, merupakan hak bagi kabilah-kabilah besar, sekaligus menjadi simbol kehormatan dan kebanggaan dalam memelihara Ka’bah, tempat suci yang sangat mereka hormati. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, remaja yang terbiasa melakukan ta’ammulat tkolom_teladan2_ed46erhadap berbagai masalah sosial di Mekah mengusulkan solusi cerdas dalam menentukan kabilah mana yang paling berhak dalam mengembalikan Hajar Aswad ke dalam posisinya pada Ka’bah. Menurut Muhammad, semua kabilah yang berselisih bisa berpartisipasi secara terhormat dalam mengembalikan Hajar Aswad ke dalam posisinya pada Ka’bah dengan cara meletakkan Hajar Aswad itu dalam sorban, kemudian keempat kabilah besar yang berselisih itu memegang keempat sudut sorban tersebut dan mengangkatnya secara bersama, kemudian memilih seorang yang bisa diterima oleh keempat kabilah itu untuk menempelkan Hajar Aswad pada Ka’bah. Usul Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib ini diterima dengan lapang dada oleh semua kabilah yang berselisih dan mereka pun sepakat mempercayakan penempelan Hajar Aswad ke dalam posisinya pada Ka’bah kepada Muhammad.
Dengan demikian, sosok Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib sejak remaja adalah pribadi yang tidak menjadi sumber masalah bagi lingkungan sosialnya, tetapi kehadirannya menjadi solusi bagi berbagai masalah dengan kreatif, inovatif, dan cerdas. Solusi yang diusulkan beliau kepada pemuka Quraisy dalam menyelesaikan perselisihan tentang siapa yang berhak mengembalikan hajar aswad ke dalam posisinya pada Ka’bah adalah solusi yang cerdas dengan menjaga martabat dan kehormatan semua kabilah yang berebut untuk menjadi pelaku utama dalam melaksanakan tugas memelihara eksistensi Hajar Aswad pada Ka’bah.
Di dalam solusi yang diusulkan Muhammad itu terdapat nilai-nilai kearifan yang bisa menjadi inpirasi bagi pejuang perdamaian, keadilan dan kemanusiaan. Pertama, nilai kebersamaan. Kabilah-kabilah Arab yang saling berebut kewenangan [otoritas], kesempatan, dan kekuasaan untuk meraih kehormatan dalam melayani tempat suci sangat menekankan ego kelompok, menguras energi, menyulut konflik yang tidak jarang pertentangan itu bermuara pada perang antar-kabilah karena mempertahankan kehormatan dan harga diri masing-masing. Antarah, seorang penyair Arab masa jahiliyah, menyatakan: “Harga diri dan kehormatan masing-masing kabilah itu adalah pertahanan terakhir yang harus dibela dengan harta dan jiwa.” Nilai kebersamaan yang diusulkan seorang pemuda bernama Muhammad bin Abdullah itu telah berhasil mengubah energi negatif yang saling menghancurkan menjadi energi positif yang saling mengisi dan memberi dalam kebersamaan dengan tidak seorang pun di antara kabilah-kabilah itu merasa kehilangan kehormatan, harkat, dan martabat masing-masing. Di dalam kebersamaan terdapat kekuatan, bahkan di dalam kata-kata hikmah disebutkan: “Yadullâh ma’al jamâ’ah” [tangan Tuhan berada dalam jama’ah/kebersamaan].
Kedua, nilai partisipasi. Usulan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib yang mengajak dan melibatkan semua kabilah yang berebut kesempatan dan kehormatan untuk menempelkan kembali Hajar Aswad yang lepas pada tempatnya di dalam Ka’bah dinilai telah melegakan semua pihak. Mengajak dan melibatkan kabilah-kabilah Arab yang saling berebut kesempatan dan kehormatan untuk mengambil bagian dan tanggungjawab dalam melayani tempat suci dirasakan oleh semua pihak sebagai usaha untuk menghidupkan kembali nilai-nilai keutamaan yang hampir punah dalam tata pergaulan masyarakat Arab jahiliyah. Nilai partisipasi dengan mengajak dan melibatkan pihak-pihak yang berebut kesempatan dan kehormatan untuk melakukan kegiatan bersama ternyata dapat meredam konflik, karena masing-masing pihak merasa dihargai hak dan harga dirinya sebagai Kabilah Arab yang merasa memiliki Ka’bah, tempat suci yang mereka hormati.
Kedua, mengalah beberapa langkah untuk meraih sukses yang gemilang
Rasulullah Saw bersama para sahabat Muhajirin tidak terasa sudah enam tahun menetap di Madinah. Beliau merasakan kerinduan yang mendalam untuk melihat Ka’bah. Kerinduan untuk melihat Ka’bah ini terkendala oleh realitas sosial politik yang terjadi di antara Madinah dan Mekah. Rasulullah Saw adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Madinah, selain kedudukan beliau sebagai nabi dan rasul. Di antara dua negara kota ini sedang terjadi konflik dan ketegangan serta perang dingin, bahkan beberapa kali meletus menjadi perang terbuka seperti Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq. Akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya perang di antara dua negara kota ini, Mekah dan Madinah, adalah perbedaan keyakinan agama. Rasulullah Saw mengajarkan prinsip tauhid [monoteisme] yang menekankan prinsip tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah yang bersumber pada wahyu dari Allah. Sementara itu, para petinggi Mekah mempertahankan agama leluhur yang berpijak pada tradisi pemujaan dewa-dewa sebagai médium untuk menghadap Allah. Perang di antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin berlangsung sesuai dengan hukum alam, kalah dan menang saling berganti sebanding lurus dengan kekuatan motivasi, strategi, konsistensi, manajemen, sumber daya manusia, persenjataan, dan berbagai sarana penunjang. Perang Badar menjadi kemenangan bagi kaum Muslimin, sedangkan Perang Uhud merupakan pengalaman kalah yang sangat berharga bagi Nabi dan kaum beriman, serta kemenangan bagi kaum musyrikin Mekah.
Dalam suasana ketegangan dan perang dingin ini, Rasulullah Saw menulis surat kepada Abu Sufyan bin Harab, Walikota Mekah, meminta izin untuk mengunjungi Mekah guna melaksanakan ‘umrah. Untuk membuktikan bahwa kunjungan ini murni bermotif agama, tidak ada muatan politik dan motif perang yang terselubung, Rasulullah Saw menyatakan bahwa rombongan ini sudah memakai kain ihram sejak mereka keluar rumah, tidak membawa senjata dan perlengkapan perang. Walikota Mekah mengizinkan Rasulullah Saw bersama rombongan untuk mengunjungi Mekah dengan satu tujuan, menunaikan ibadan ‘umrah. Ketika Rasulullah Saw sampai di Hudaibiyah, batas kota Mekah, Abu Sufyan berubah pikiran. Walikota Mekah itu menolak Nabi dan rombongan untuk masuk ke kota Mekah. Setelah melewati keadaan yang tidak menentu dan diliputi ketegangan, karena rombongan Nabi tertahan beberapa hari di Hudaibiyah, serta beredarnya kabar burung bahwa Usman bin ‘Affan, utusan khusus Nabi untuk melobi Abu Sufran, terbunuh, akhirnya Walikota Mekah mengajukan proposal perjanjian yang terkenal dengan Perjanjian Hudaibiyah, karena ditanda-tangani di Hudaibiyah.
Substansi Perjanjian Hudaibiyah tersebut meliputi tiga masalah pokok sebagai berikut:
Pertama, Muhammad bersama rombongan ‘umrah yang sudah berada di pintu gerbang kota Mekah tidak diizinkan masuk kota Mekah hingga tahun berikutnya [tahun ke-7 Hijrah];
Kedua, orang-orang Muslim yang berdomisili di Mekah [belum mengikuti hijrah ke Madinah hingga ditanda-tanganinya perjanjian ini], jika menghadap kepada Muhammad di Madinah dan menyatakan keinginannya untuk hijrah, maka mereka harus ditolak dan dikembalikan ke Mekah dengan biaya sendiri tanpa jaminan keamanan.
Ketiga, jika orang-orang Muslim di Madinah [sahabat Muhajirin] menyatakan keinginannya untuk kembali ke Mekah, maka Muhammad tidak boleh melarang mereka, sebaliknya Muhammad harus mengembalikan mereka ke Mekah dengan biaya perjalanan ditanggung oleh Muhammad.
Rumusan perjanjian di atas secara keseluruhan merugikan pihak Rasulullah Saw dan kaum Muslimin. Para sahabat Nabi menolak rumusan perjanjian yang merugikan kaum Muslimin itu. Mereka marah, kesal dan kecewa terhadap Nabi karena beliau menyutujui butir-butir yang tercantum di dalam draf perjanjian tersebut dan beliau segera akan menanda-tanganinya. Kemarahan dan kekecewaan para sahabat itu bertambah, ketika delegasi Mekah yang mewakili Walikota menolak membubuhkan tandatangan sebelum beberapa kalimat pada naskah perjanjian itu dicoret. Delegasi Mekah itu keberatan karena di dalam nasakah perjanjian itu tertulis Muhammad Rasulullah. Tokoh musyrikin Mekah itu mengusulkan agar “Muhammad Rasulullah” diganti menjadi Muhammad bin Abdullah. Ia beralasan bahwa Pemerintah Kota Mekah bersama masyarakat Mekah tidak meyakini dan tidak mengakui Muhammad Rasulullah, mereka hanya mengenal dan mengakui Muhammad bin Abdullah. Menanggapi keberatan ini, Rasulullah Saw menerima dengan lapang dada, tanpa ada komentar dan tanda-tanda penolakan sedikit pun di wajah beliau. Beliau memerintahkan agar Muhammad Rasulullah pada naskah perjanjian itu dicoret dan diganti dengan Muhammad bin Abdullah seperti diusulkan pihak Mekah tersebut.
Akibat perjanjian Hudaibiyah yang merugikan kaum Muslimin ini, Rasulullah Saw bersama rombongan umrah harus menerima resiko dipermalukan dalam diplomasi hubungan antara negara. Mereka pun harus menunda pelaksanaan umrah, padahal mereka sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari dan sudah berada di di pintu gerbang kota Mekah. Peristiwa ini benar-benar menunjukkan arogansi Abu Sufyan bin Harab, padahal Rasulullah Saw sudah mengirimkan surat permohonan izin kepada Abu Sufyan untuk menunaikan ibadah umrah dan Walikota Mekah pun sudah mengizinkannya, tetapi Abu Sufyan secara sepihak mencabut izin itu dan mengubahnya dengan proposal perjanjian yang merugikan.
Perjanjian Hudaibiyah jika dilihat dengan kasat mata sangat merugikan kaum Muslimin, tetapi di balik butir-butir perjanjian yang pahit itu terdapat madu yang terasa manis yang membawa kebaikan dan kemenangan yang gemilang bagi perkembangan Islam dan kaum Muslimin.
Pertama, dengan penanda-tanganan perjanjian Hudaibiyah ini perang dingin yang terjadi di antara Madinah dan Mekah memasuki masa jeda sehingga Nabi memiliki waktu cukup untuk melakukan hubungan internasional dengan mengirimkan beberapa orang dusta besar ke berbagai negara di Timar Tengah.
Kedua, perihal butir kedua yang mengharuskan Nabi menolak Bani Khaza’ah, kaum Muslimin yang tetap tinggal di Mekah, ketika mereka menghadap kepada Nabi dan menyatakan kehendaknya untuk bergabung dengan saudara-saudaranya seiman di Madinah, ternyata ketentuan ini membawa manfaat yang tidak terduga bagi kaum Muslimin. [1] terbukti bahwa Nabi adalah seorang negarawan yang memiliki prinsip dan konsisten memegang teguh perjanjian, meskipun perjanjian itu terasa pahit bagi kaum Muslimin. [2] Bani Khaza’ah yang ditolak oleh Nabi dan tidak tahan menjadi kelompok minoritas tertindas terhadap kezaliman Pemerintah dan masyarakat Mekah akhirnya menjadi duri dalam daging bagi Pemerintah Kota Mekah pimpinan Abu Sufyan. Bani Khaza’ah sering membalas kezaliman pemerintah dengan mengganggu jalur perdagangan Pemerintah Kota Mekah. Kondisi ini menimbulkan ketidak-amanan bagi masyarakat Mekah sehingga sebagian mereka mengusulkan kepada pemerintah agar perjanjian Hudaibiyah ini dibatalkan saja.
Ketiga, perihal butir ketiga dalam Perjanjian Hudaibiyah yang di atas kertas merugikan kaum Muslimin, ternyata secara faktual tidak ada seorang pun di antara sahabat Muhajirin yang hendak kembali ke Mekah.
Dengan demikian, Nabi memiliki kecerdasan emosi dan spiritual yang luar biasa. Dengan kebiasaan melakukan ta’ammulat, kecerdasan intelek dan kecerdasan emosinya terlatih dengan tajam sehingga bisa mengalah sedemikan rupa dalam menerima proposal perjanjian Hudaibiyah, tetapi di balik itu semua terbuka lebar jalan menuju kemenagan Islam dan kaum Muslimin. Perjanian Hudaibiyah menjadi titik masuk untuk meraih Futuh Mekah pada tahun ke-8 Hijriah. Sebuah pelajaran yang sangat bermakna dari kearifan Rasulullah Saw. « []
* ] Dosen Tasawuf dan Tafsir al-Qur’an Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta